31 Jan 2011

Bedah Buku karya Ustadz Yazid, 3 Februari 2011 di Karawang

info

بسم الله الرحمن الرحیم

Hadirilah...!!!

BEDAH BUKU
1. Ruh Seorang Muslim Tergantung Pada Hutangnya Hingga Dilunasi

2. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu
(kedua buku ini karya Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas
حفظه الله تعالی)

Pemateri:
Ustadzah Ummu Ghiyats
حفظهاالله تعالی
(alumni Ponpes Al-Furqon Gresik)

انشاء الله
Hari/Tanggal:
Kamis, 03 Februari 2011
Waktu:
jam 09.00 s.d ba'da dzuhur
Tempat:
Masjid al-Istiqomah
perum Puri Kosambi 1
Duren, Klari, Karawang
(arah ke Telagasari)

untuk Akhwat

30 Jan 2011

Sebuah Kisah Tentang Cadar

Cadar… Satu kata yang dulu sempat membuat diriku takut untuk mendekati orang-orang yang memakainya. “Mungkin mereka jelek, makanya menutupi wajahnya, atau mungkin dia mempunyai gigi taring seperti drakula ataukah mungkin dia..begini..begini dan begitu”. Begitu banyak pikiran-pikiran yang menghantuiku ketika masih menjadi orang yang belum tahu tentang syari’at Alloh tentang cadar ini.

Sampai suatu ketika Alloh menakdirkanku untuk mengenal sekumpulan akhwat yang bercadar, “subhanalloh” satu kata yang terlontar dari lisanku waktu itu. Ternyata mereka tidak seperti yang aku pikirkan selama ini, ternyata cadar merupakan salah satu syari’at dari islam.

Berawal dari perkenalanku dengan para akhwat, disitulah awal mula diriku mengenal ilmu yang shohih, hari-hari kujalani dengan ilmu-ilmu yang yang selama ini kuanggap hanya sebatas budaya dan pemikiran orang-orang belaka. Sedikit demi sedikit kuamalkan ilmu yang telah kudapatkan, pergaulan antara lawan jenis, musik, ikhtilath, sampai ke syarat-syarat jilbab yang syar’i pun kulalui dan kuamalkan. Alhamdulillah, meski banyak rintangan dan cobaan dalam mengamalkannya. Tapi begitulah perjuangan. Begitulah konsekuensi dari amalan yang telah kita ilmui. Tapi untuk masalah cadar, ah, diriku sungguh tak tertarik untuk menggunakannya.

Sempat mempelajari tentang hukum dari cadar dan waktu itu berkeinginan untuk mempelajarinya lebih dalam, tapi teringat akan ucapan bapak, “kamu boleh pakai jilbab yang besar tapi jangan sampai bercadar. Nanti boleh bercadar kalau sudah nikah.” Ya sudahlah mendingan aku ambil hukum yang sunnahnya saja, daripada bapak marah. Toh nanti kalau dah nikah aku akan pakai cadar juga insya Alloh, untuk sekarang ga usahlah, pikirku dalam hati. Akhirnya niat untuk mempelajari hukum cadar lebih lanjutpun aku urungkan.
“Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?”

Manusia boleh berencana tapi Alloh lah yang berhak menentukan jalan hidup kita. Alhamdulillah, hidayah Alloh datang kepadaku, yang awal mulanya diriku begitu kekeh untuk tidak bercadar, niat untuk mempelajari hukumnya pun ogah-ogahan, namun Alloh menakdirkan padaku untuk lebih mengetahui tentang cadar ini melalui sebuah fitnah yang kualami di kampus. Seorang teman memberitahukan padaku bahwa ada seseorang yang terfitnah gara-gara diriku. “Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?” Airmatapun mulai mengalir, bukan karena terharu disebabkan ada orang yang “ngefans” tapi karena merasa bahwa diri ini adalah sumber fitnah. Belum bisa menyempurnakan hijab, tidak bisa menjaga diri, dll. Lama diriku merenung. “Kenapa sampai ada yang terfitnah? Toh aku tak pernah berkomunikasi dengannya? Jangankan berbicara, senyumpun tak pernah.” Apa yang menyebabkan semua itu??Apa??? Wajah… Ya inilah sumber dari fitnah itu… Seketika itu pun diriku bertekad dengan kuat untuk mempelajari hukum cadar, walaupun masih teringat dengan kata-kata bapak, namun tak mengurungkan niatku untuk belajar..

Alhamdulillah, Alloh memudahkan jalanku untuk mempelajari ilmu tentang cadar ini, mulai dari dukungan akhwat, cerita cerita akhwat yang memberikan motivasi, buku-buku yang mereka pinjamkan, sampai ketika salah seorang ustadzah dari Arab datang ke kota Serambi Madinahku buat memberikan dirosah. Sampai suatu hari ketika sang ustadzah telah selesai memberikan dirosahnya, kulihat dirinya sedang duduk untuk istirahat, aku pun mengajak seorang kakak untuk menemaniku berbicara kepada ustadzah tentang masalah cadar (karena ketidaktahuanku bercakap dalam bahasa arab, makanya minta tolong ke akhwat buat jadi penerjemahnya. Syukron wa jazaakillahu khair buat kakak yang membantu diriku saat itu.)

Kakak : “Adik ini ingin bertanya kepada anda wahai ustadzah, dia ingin sekali memakai cadar namun orangtuanya melarangnya, tolong berikan nasehatmu padanya.”

Ustadzah: “Kalau dia meyakini bahwa hukum cadar adalah wajib maka apapun konsekuensi yang harus dia dapatkan sekalipun orangtua melarang maka dia tetap harus memakainya, tapi ketika dia meyakini bahwa itu hanyalah sunnah maka lebih baik dia mengikuti permintaan orang tuanya.” (Kira-kira seperti itulah percakapan mereka kalau diterjemahkan dalam bahasa indonesia.)
Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban.

Hemm. Ternyata, point yang kudapatkan dari pernyataan ustadzah adalah “ilmu sebelum berbuat”. Ya, aku harus mempelajarinya lagi lebih dalam tentang cadar (waktu itu aku masih menganggapnya sebatas sunnah). Hari-haripun kulalui dengan berusaha mencari tahu tentang hukum cadar. Mulai dari bertanya ke ustadz, bertanya ke akhwat dan berbagai cara kutempuh untuk mengetahui hukum sebenarnya dari cadar. Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban. Tapi bagaimana dengan orangtua? Inilah ujianku selanjutnya. Aku harus berusaha memahamkan kepada mereka sedikit. Akhirnya akupun berusaha menutupi wajah ini sedikit demi sedikit, walaupun belum menggunakan cadar tapi wajah ini sering kututup dengan jilbabku ketika ada seorang laki-laki ajnabi yang lewat dihadapanku. Dan ini berlangsung sampai beberapa hari.

Suatu hari tiba-tiba keluargaku berkumpul di ruang keluarga, bapakku tiba-tiba mengatakan padaku, “bapak ga mau lihat kamu pakai cadar.” Tiba-tiba suasana di rumah menjadi tegang (ternyata selama ini bapak memperhatikanku, karena begitu seringnya aku menutup wajahku dengan jilbab yang kupakai, sampai beliau mengira bahwa aku telah bercadar waktu itu.) Bapak dengan berbagai ucapannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku mengatakan, “bapak ga mau kamu pakai cadar!!!”

“Apapun alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau sampai pakai cadar, kamu jadi anak durhaka sama bapak!!!”

“Ga usah suruh temanmu kesini lagi, kalau ada temanmu yang datang, bapak akan usir.”

Bla..bla..bla… Berbagai macam perkataan bapak pada diriku saat itu.” Aku bisa paham terhadap ucapan bapak, karena memang beliau kurang paham apalagi beliau jarang bermulazamah dengan ustadz-ustadz. Tapi yang membuatku begitu sedih adalah ketika ibuku mendukung argumen bapak dan juga ikut-ikutan memarahiku dan melarangku. Aku kaget, karena yang selama ini aku tahu bahwa ibu mengenal beberapa ustadz dan teman-temanku yang bercadar. Pikirku waktu itu, ibu mungkin setuju-setuju saja pada saat aku bercadar. Tapi ternyata, ibuku pun melarang dan ikut-ikutan memboikotku.

Pada hari itu, bertepatan dengan perginya bapak kembali berlayar, sebelum beliau berangkat beliau datang ke kamarku dan mendapati diriku yang hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Ingat, bapak ga mau kamu pakai cadar!!!” Ya Alloh, sekeras itukah hati bapak, sampai tidak mau mendengarkan penjelasanku tentang cadar, pikirku dalam hati.
Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama.

Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan tangisan di kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda usah menangis lagi.” Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melarangku bercadar. Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya. Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..

Hey, kamu baru diuji seperti ini, masa mau nyerah begitu saja. Apa ga ingat gimana perjuangan Rosululloh dan para shahabatnya ketika memperjuangkan islam??? Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diusir oleh kaumnya sendiri, kaki beliau berdarah-darah karena dilempar batu. Para shahabat, bahkan ada yang rela tidak diakui oleh ibunya sendiri. Dan kamu ingat Sumayyah? Wanita syahidah pertama yang rela disiksa oleh orang-orang kafir karena memeluk islam, hingga beliau menemui ajalnya. Sekarang lihat dirimu??? Kalau cobaan ini saja bisa membuatmu menyerah dan jauh dari Alloh. Kira-kira ketika kamu hidup pada zaman nabi, apa kamu bisa menjadi salah seorang shahabiyah? Ataukah kamu adalah salah seorang musuh dari islam?

Akupun tersadar setelah melakukan dialog dengan diriku sendiri, segera aku ambil air wudhu dan sholat. Dalam sholat kubaca Surah An-Nashr “innama’al ‘usri yusro..fainnama’al ‘usri yusro” rasanya keyakinan akan pertolongan Alloh semakin dekat itu begitu kuat. Ya, pertolongan itu akan datang fikirku.

Sampai hari ketiga, keadaan di rumah masih tetap sama. Ibu juga nenekku masih memboikotku. Aku masih saja berada dalam kamar sambil memikirkan cara untuk meminta izin kembali ke bapak. Tiba-tiba teringat akan cerita salah seorang kakak. Ketika dia ingin mengutarakan keinginannya memakai cadar kepada orangtuanya, “dek, dulu waktu ana ingin bercadar, orangtua melarang. Namun karena kayakinan yang mantap untuk menutup aurat secara sempurna, akhirnya kutempuh berbagai cara meyakinkan bapak. Dan cara yang kupilih adalah mengirimkan surat ke beliau dengan kalimat yang syahdu, “wahai ayahku. Kutulis surat ini, bla..bla..bla. (Afwan, lupa isi suratnya.)”

Hemmm. Tiba-tiba cara yang ditempuh sang kakak tadi, terlintas di dalam pikiranku. Tapi bukan melalui surat, hanya sms yang bisa kukirimkan kepada bapakku untuk menjelaskan kenapa aku ingin bercadar.

“Assalamu’alaikum, pak kabarnya gimna? Semoga bapak baik-baik saja. Maaf sebelumnya jika saya lancang sms bapak, tapi saya sms hanya ingin menjelaskan kenapa saya ingin bercadar. Maaf pak, bukannya saya ingin menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah bapak, tapi karena keinginan saya yang ingin mengikuti perintah Alloh makanya saya berani untuk memakai cadar. Saya begitu sedih ketika melihat ekspresi bapak yang begitu marah ketika mengetahui bahwa saya ingin bercadar, seakan-akan bapak sangat membenci cadar. Saya tidak ingin bapak seperti itu, karena cadar juga merupakan bagian dari syari’at islam. Dan yang saya pelajari bahwa istri-istri nabi pun pakai cadar, kalau bapak benci cadar artinya bapak juga benci istri-istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bla..bla..bla…

Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.

Beberapa saat setelah kukirimkan sms ke bapak, tiba-tiba ada sms yang masuk ke hp-ku, tapi belum berani kubuka isinya. Sampai akhirnya hpku berdering, ketika kulihat nama yang memanggil ternyata adalah bapakku. Sambil deg-degan kuangkat telpon bapakku, dan siap menerima omelan dari bapak lagi karena kelancanganku untuk meminta izin memakai cadar.

Aku : “Assalamu’alaikum.”

Bapak: “Wa’alaikumsalam, lagi dimana nak???”

Aku: “Di rumah pak. Lagi di kamar.”

Bapak: “Kamu masih nangis??”

Aku: “I..i..iya pak. (Sambil menghapus airmata.)

Bapak: “Bapak dah terima sms dari kamu. Kamu beneran mau pakai cadar???

“Aku: “I..i..iyya pak..”

Bapak: “Ya udah…kalau mau pakai cadar, pakai cadar saja. Asal hati harus lembut ya nak…

“Aku: “Hah??” (Dalam keadaan yang masih belum percaya, tiba2 sikap bapak berubah 180 derajat.) Beneran pak??”

Bapak: “Iya nak… mana mamamu? Bapak mau bicara.”

Akhirnya bapak bicara ke ibu, dan dari percakapannya ibu mengatakan kalau bapak mengizinkan aku pakai cadar. Ibu dilarang untuk melarangku bercadar. Masih belum percaya dengan keputusan bapak, akupun membaca sms yang dikirimkan bapak kepadaku sesaat sebelum beliau menelponku, “ya udah kalau kamu mau pakai cadar bapak izinkan, ingat ya, hati harus lembut..janji ya..” Alhamdulillah, bapak benar-benar mengizinkanku.

Dan akhirnya. Bismillah. Tepat tanggal 5 Ramadhan, aku pun keluar dari rumah pertama kali dengan menggunakan cadar yang menutupi wajahku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur di atas angkot dan airmata terus saja mengalir karena akhirnya pertolongan Alloh datang juga setelah 3 hari diriku harus menangis di kamar tanpa henti. Diboikot oleh orang tua sendiri. Yaa, akhirnya akupun memakainya. Semoga pakaian ini akan terus kukenakan hingga ajal menjemput. Amin, Allohumma amin. “yaa muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik.

Serambi madinah,13 0ktober 2009

- shalihah.com -

http://akuseorangmuslimah.blogspot.com/2009/10/sebuah-kisah-tentang-cadar.html

23 Jan 2011

DAUROH MUSLIMAH 13 Februari 2011 di Masjid Al-Jihad Karawang

info

بسم الله الرحمن الرحیم

Untukmu Ukhti Muslimah
"Mayoritas Penghuni Surga Adalah Kaum Wanita"

HADIRILAH...!!!
DAUROH MUSLIMAH
Pembicara:
Al-Ustadz Abu Islama Imanuddin, LC
Mudir Pondok Pesantren Hidayatunnajah, Bekasi

انشاءالله
Hari/Tanggal:
Ahad, 13 Februari 2011
Waktu:
jam 09.00 sd selesai
Tempat:
Masjid Al-Jihad
Jl. Ahmad Yani, By Pass
Karawang, Jawa Barat

Contact Person:
Abu Rifky 085695783644 / 082113837634

TIM KAJIAN ILMIAH - KARYAWAN MUSLIMAH KARAWANG
( TKI - KMK )

Meskipun Dauroh ini dikhususkan untuk muslimah, tetapi para suami dan ikhwan-ikhwan dapat hadir menyimak kajian ini

"Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu (syar'i), maka Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju syurga"

TABLIGH AKRAB 5 Februari 2011 di Plawad, Karawang Timur

info

بسم الله الرحمن الرحیم

HADIRILAH...!!!

TABLIGH AKRAB
KESEDERHANAAN MASJID ROSULULLAH
صلی الله علیه وسلم
-kiat-kiat menjadi ummat yang ditolong Allah تعالی

Pembicara:
Al-Ustadz Abu Muhammad
حفظه الله تعالی

انشاءالله
Hari/Tanggal:
Sabtu 5 Februari / 2 Rabi'ul Awwal 1431 H
Waktu:
jam 15.30 (ashar) - 18.00 wib
Tempat:
Masjid waqof Plawad
Jl. Raya Syeikh Quro Krajan
Kel. Plawad, Kec. Karawang Timur
(kurang lebih 200M dari kantor kelurahan Plawad)

Informasi acara dan lokasi
081380740192
085695783644
081323617931

Mohon maaf karena keterbatasan tempat, acara ini terbatas untuk ikhwan.

"Barangsiapa membangun sebuah masjid karena / untuk Allah walau seukuran sarang burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di dalam jannah"
( HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, dishahihan Syeikh Al-Albani dalam shahih al-jami' no.6128 )

18 Jan 2011

13 Akhlak Utama Salafush-Sholih

Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia.

Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)

Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?

Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagai ushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:

[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]

Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]

Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]

Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.

[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)

[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.

[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]

Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)

[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)

[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)

[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]

Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)

[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’ala melarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).

Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.

[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)

[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]

Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.


Referensi
: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah.

Panggang-GK, 2 Jumadits Tsani 1431 H (15/05/2010)

Artikel www.rumaysho.com (M. A. Tuasikal)

Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berikut ini disusun oleh Abdurrazzaq bin Shalih An-Nahmi, salah seorang thalibul ilmi di Darul Hadits Dammaj, di mana riset beliau terhadap karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah” mendapat pujian dari banyak ulama Yaman. Setidaknya lima orang ulama besar Yaman memberikan rekomendasi untuk membaca hasil riset beliau tersebut yang insya Allah dalam waktu dekat akan hadir terjemahannya di negeri kita biidznillahi ta’ala.

Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang beliau tulis adalah sebagai berikut:

1. Nasab dan pertumbuhan beliau

Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Imam Al-Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barra bin Musyrif At-Tamimi.

Kelahiran Beliau
Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1115 dari Hijrah Nabi –semoga shalawat dan salam yang paling afdhal tercurah atas beliau- di kota ‘Uyainah yang masih masuk wilayah Najd, sebelah barat dari kota Riyadh, jaraknya dengan kota Riyadh sekitar perjalanan 70 km.

Pertumbuhan Beliau
Beliau tumbuh dan besar di negeri ‘Uyainah dan menimba ilmu di sana. Beliau hafal Al-Qur’an sebelum umur 10 tahun. Beliau seorang yang jenius dan cepat memahami. Di bawah asuhan bapaknya sendiri beliau belajar fikih mazhab Hambali, tafsir, hadits, aqidah dan beberapa bidang ilmu syar’i serta bahasa. Beliau sangat menaruh perhatian besar terhadap kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumallah, sehingga beliau terpengaruh oleh keduanya dan berjalan di atas jalan mereka dalam mementingkan masalah aqidah yang benar, mendakwahkannya, membelanya dan memperingatkan dari perbuatan menyekutukan Allah, bid’ah serta khurafat.

2. Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu

Beliau mengadakan rihlah (perjalanan) menuju Mekkah untuk menunaikan kewajiban haji dan mencari bekal ilmu syar’i. Kemudian beliau rihlah ke Madinah Nabawiyyah dan di sana bertemu dengan dua syaikh yang alim lagi mulia, yang mana keduanya mempunyai pengaruh terbesar dalam kehidupan beliau, mereka adalah Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif An-Najdi dan Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim As-Sindi. Lantas beliau rihlah ke Bashrah dan beliau mendengarkan hadits, fikih dan membacakan nahwu kepada gurunya sampai menguasainya. Kemudian beliau rihlah ke daerah Ahsa’ dan bertemu dengan syaikh-syaikh Ahsa’, di antaranya Abdullah bin Abdul Lathif seorang hakim.

3. Kiprah Beliau dalam Menyerukan Tauhid

Beliau pulang ke daerah Huraimala’, karena ayah beliau dulunya seorang hakim di ‘Uyainah, lantas terjadi pertentangan antara beliau dengan pemimpin ‘Uyainah sehingga beliau pindah ke Huraimala’ pada tahun 1139 dan menetap di sana menyeru kepada tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan sampai ayah beliau meninggal pada tahun 1153 H.

Lantas sebagian orang-orang jelek lagi jahat melakukan konspirasi untuk mencelakakan beliau disebabkan beliau senantiasa mengingkari kefasikan dan kejahatan mereka, sampai-sampai mereka hendak membunuh beliau. Kemudian beliau beritahukan perihal mereka kepada beberapa orang sehingga akhirnya mereka lari. Lalu setelah konspirasi tersebut berhasil menyudutkan Asy-Syaikh, beliau pun berpindah ke ‘Uyainah dan beliau tawarkan dakwahnya kepada pemimpin ‘Uyainah yang ketika itu pemimpinnya adalah Utsman bin Ma’mar.

Pimpinan ‘Uyainah pun menyambut beliau, membantunya, mendukungnya dan bersama dengan beliau menghancurkan kubah Zaid bin Al-Khatthab dan menghancurkan beberapa kubah serta kubur yang dibangun, bahkan bersama beliau merajam seorang wanita yang datang mengaku telah berzina padahal dia muhshan (telah pernah menikah- ed).

Ketika beliau menghancurkan kubah dan melakukan rajam dalam masalah zina, maka menjadi masyhurlah perkara beliau dan tersiarlah reputasi baik beliau. Masyarakat pun mendengar tentang beliau, dan berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya membantu beliau sehingga semakin besarlah kekuatan beliau.

Kemudian, sampailah berita perbuatan Asy-Syaikh menghancurkan kubah dan kubur serta penegakan hukum had kepada pemerintah Ahsa’ dan sekutu-sekutunya. Hal ini membuat pemerintah Ahsa’ merasa khawatir terhadap kerajaannya dan memerintahkan kepada Utsman bin Ma’mar untuk membunuh Asy-Syaikh atau mengusirnya dari ‘Uyainah. Jika tidak dilakukan, maka akan diputus upeti darinya. Maka Utsman bin Ma’mar akhirnya menerima desakan ini dan memerintahkan Asy-Syaikh agar keluar dari ‘Uyainah dan beliaupun keluar darinya menuju Dir’iyyah. Hal itu terjadi pada tahun 1158 H.

Di Dir’iyyah beliau singgah sebagai tamu Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini, lantas pemimpin Dir’iyyah Muhammad bin Su’ud mengetahui akan kedatangan Asy-Syaikh. Dan disebutkan bahwa yang memberitahukan kedatangan Asy-Syaikh adalah isteri Ibn Su’ud sendiri.

Beberapa orang shalih mendatangi wanita tersebut dan berkata kepadanya,
“Beritahukan kepada Muhammad (Ibn Su’ud –ed) tentang orang ini! Semangatilah dia untuk mau membelanya dan beri motivasi kepadanya agar mau mendukung serta membantunya.”

Istri Muhammad adalah seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. Ketika sang amir Muhammad bin Su’ud pemimpin Dir’iyyah dan sekitarnya masuk menemui istrinya, istrinya pun berkata kepadanya,

“Bergembiralah dengan ghanimah (anugerah) yang besar ini. Ini adalah ghanimah yang Allah kirimkan kepadamu, seorang lelaki yang menyeru kepada agama Allah, menyeru kepada Kitabullah, menyeru kepada sunnah Rasulullah. Sungguh betapa ghanimah yang begitu besar. Bersegeralah menerimanya, bersegeralah menolongnya, dan jangan kamu berhenti saja dalam hal itu selamanya.”

Sang amir pun menerima saran istrinya dan sungguh bagus apa yang dilakukannya rahimahullah. Amir pergi ke kediaman Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini dan berkata kepada Asy-Syaikh,

“Bergembiralah dengan pertolongan dan bergembiralah dengan keamanan.”

Maka Asy-Syaikh berkata kepadanya,

“Dan Anda juga bergembiralah dengan pertolongan, bergembiralah dengan kekokohan dan kesudahan yang terpuji. Ini adalah agama Allah, siapa yang menolongnya niscaya Allah akan menolongnya. Siapa yang mendukungnya niscaya Allah akan mendukungnya.”

Kemudian amir berkata kepada Asy-Syaikh,

“Aku akan membaiatmu di atas agama Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah. Akan tetapi aku khawatir jika kami telah mendukungmu dan membantumu lantas Allah memenangkanmu atas musuh-musuh Islam lantas engkau menginginkan selain bumi kami dan berpindah dari kami ke tempat lain.”

Maka Asy-Syaikh menanggapinya,

“Bentangkan tanganmu, aku akan membaiatmu bahwa darah dibalas dengan darah, kehancuran dengan kehancuran dan aku membaiatmu untuk tetap tinggal bersama kalian dan aku tidak akan keluar dari negerimu selamanya.”

Demikianlah, Asy-Syaikh tinggal di Dir’iyyah dalam keadaan dihormati dan didukung sepenuhnya, menyeru kepada tauhid dan memperingatkan dari syirik. Orang-orang pun berdatangan, baik secara berkelompok maupun individu. Beliau mengajarkan aqidah, Al-Qur’an Al-Karim, tafsir, fikih, hadits, musthalah hadits, berbagai ilmu bahasa Arab dan tarikh.

Beliau biasa berkirim surat dengan para ulama dan umara dari berbagai negeri dan penjuru, menyeru mereka kepada agama Allah sehingga tersebarlah dakwah beliau. Setelah itu semakin banyaklah kedengkian, mereka lantas berhimpun dan bersatu menentang beliau. Maka amir mengobarkan jihad dengan pedang dan tombak, dan peristiwa itu terjadi pada tahun 1158 H.

Asy-Syaikh membantunya sampai akhirnya dakwah beliau tersebar menyeluruh sampai ke penjuru alam dan gaungnya masih senantiasa bergema sampai hari ini.

4. Sanjungan para ulama terhadap beliau

Para ulama betul-betul mengenal Imam ini dan memberikan pujian kepadanya, bahkan mereka sampai menulis biografi tentangnya. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Husain bin Ghanam. Beliau banyak menulis tentang Asy-Syaikh, memujinya dan menyebutkan kisah perjalanan hidupnya dalam kitab Raudhatul Anzhar wal Afham.

Di antara mereka juga Asy-Syaikh Utsman bin Bisyr, yang memujinya dalam kitab ‘Unwanul Majdi fi Tarikhi Majdin, dan Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadqi menulis tentang beliau dalam kitab yang diberi judul Al-Mushlih Al-Mazhlum.

Di antara yang memuji beliau juga orang alimnya Yaman yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani dalam sebuah qoshidah panjang yang awalnya:

“Salam bagi Najd dan orang yang tinggal di Najd
Meskipun salamku dari kejauhan ini tiada berguna
Sungguh aku telah mendatangkan siraman kehidupan dari kaki bukit Shan’a
Dia didik dan dia hidupkan dengan tertawanya guntur
Aku berjalan seperti orang yang digerakkan mencari angin, jika kuberjalan
Wahai putera Najd kapan engkau akan beranjak dari Najd
Perjalananmu dan para penduduk Najd mengingatkanku akan Najd
Sungguh sepak terjangmu menjadikanku semakin cinta
Selamanya, dan bertanyalah kepadaku tentang seorang alim yang singgah di negeri Najd
Dengannya terpetunjuk orang yang dulunya sesat dari jalan yang lurus
Muhammad yang memberikan petunjuk kepada sunnah Ahmad
Alangkah indahnya yang memberi petunjuk dan alangkah indahnya yang diberi petunjuk.”


Sampai beliau berkata,

“Sungguh telah datang berita darinya bahwa dia
mengembalikan kepada kita syariat yang mulia
dengan apa yang ditampakkannya
Dan dia sebarkan secara terang-terangan apa
yang disembunyikan oleh setiap orang bodoh
Dan ahli bid’ah, sehingga sesuailah dengan apa yang aku punya
Dia dirikan tiang-tiang syari’at yang dulunya roboh
Monumen-monumen yang padanya manusia tersesat dari petunjuk
Dengannya mereka mengembalikan makna Suwa dan yang semisalnya
Yaghuts dan Wadd, betapa jelek Wadd itu
Sungguh mereka menyebut-nyebut namanya ketika terjadi kesusahan
Sebagaimana seorang yang terpepet memanggil Dzat
tempat bergantung lagi Maha Esa
Betapa banyak sembelihan yang mereka persembahkan di pelatarannya
disembelih untuk selain Allah secara terang-terangan disengaja
betapa banyak orang yang thawaf di sekitar kubur sambil mencium
dan mengusap pojok-pojoknya dengan tangan”

(Diwan Ash-Shan’ani, hal 128-129)

Di antara ulama yang memuji beliau juga Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani tokoh hakim di wilayah Yaman sebagaimana dalam kitabnya Al-Badru Ath-Thali’ tentang biografi Ghalib bin Musa’id sang amir Mekkah. Beliau berkata dalam komentarnya terhadap sebagian risalah Asy-Syaikh,

“Itu merupakan risalah-risalah yang bagus yang memuat dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa yang menjawabnya merupakan ulama peneliti yang benar-benar paham terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Kemudian beliau melantunkan sajak-sajak kesedihan setelah wafatnya syaikh.

Al-‘Allamah Ibnu Badran berkata tentang beliau dalam kitabnya Al-Madkhal hal. 447,

“Seorang alim yang komitmen terhadap atsar dan imam yang besar, Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau melakukan rihlah untuk menuntut ilmu dan para ahli hadits di masanya memberikan ijazah kepada beliau untuk meriwayatkan kitab-kitab hadits dan yang lainnya. Ketika kantong penyimpanannya telah penuh dari atsar dan ilmu sunnah, serta menguasai mazhab Ahmad, beliau mulai membela al-haq dan memerangi bid’ah, serta menentang ajaran yang disusupkan oleh orang-orang bodoh ke dalam agama ini.”

Adapun ulama masa kini yang memberikan sanjungan kepada beliau di antaranya Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan guru kami Al-Wadi’i rahimahumullah.

Dan di sini aku senang menyebutkan sebagian pujian guruku Al-Imam Al-Wadi’i terhadap Asy-Syaikh Al-Imam Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah ditanya -sebagaimana dalam Al-Mushara’ah hal. 400- tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka beliau berkata,

“Adapun dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sungguh merupakan dakwah yang diberkahi. Dan jika engkau membaca kitab beliau Kitab At-Tauhid, maka engkau akan dapati beliau berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits nabi. Sama saja apakah dalam bab menggantungkan jimat-jimat dan rajah-rajah, bab berdoa kepada selain Allah, ataupun dalam bab peringatan keras dari membangun kubur. Engkau dapati beliau berdalil dengan ayat Al-Qur’an atau hadits nabi, sungguh Allah telah memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin dengan sebab dakwah beliau…”.

Sampai beliau berkata,

“Maksudnya bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin. Betapa banyak kaum muslimin yang Allah selamatkan dari kesesatan, bid’ah dan khurafat dengan sebab kitab-kitab beliau rahimahullah”.

Beliau berkata pada hal 402,

“Siapa yang ingin mengetahui dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab maka aku nasehatkan untuk membaca Ad-Durar As-Saniyah sehingga seakan ia duduk mendampingi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kami nasihatkan sebelumnya untuk membaca kitab-kitab beliau dan setelah itu kami nasihatkan agar membaca Ad-Durar As-Saniyyah agar engkau ketahui risalah-risalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh beliau adalah seorang yang melakukan perbaikan, tetapi banyak difitnah.”

Beliau berkata pada hal 410,

“Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah imam yang memberi petunjuk”.

Juga pada hal 412 beliau ditanya tentang penyebutan kata Syaikhul Islam bagi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab apakah itu berlebihan atau memang berhak beliau menyandangnya? Maka beliau menjawab,

“Nampaknya beliau memang berhak menyandangnya. Sungguh Allah telah memberikan manfaat kebaikan yang banyak dengan sebab dakwahnya. Allah berkahi dakwahnya dan kaum muslimin mengambil manfaat darinya. Wallahul musta’an (Dan Allah-lah Tempat Meminta Pertolongan –ed.)”

5. Guru-guru beliau

a. Ayah beliau sendiri Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman
b. Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, yaitu ayah Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah pengarang kitab Al-‘Adzbu Al-Faidh fi ‘Ilmil Faraidh.
c. Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim As-Sindi
d. Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i Al-Bashri
e. Asy-Syaikh Musnid Abdullah bin Salim Al-Bashri
f. Asy-Syaikh Abdul Lathif Al-Afaliqi Al-Ahsa’i

6. Murid-murid beliau

a. Al-Imam Abdul Aziz bin Su’ud
b. Al-Amir Su’ud bin Abdul Aziz bin Sulaiman
c. Putra-putra beliau sendiri, Asy-Syaikh Husain, Asy-Syaikh Ali, Asy-Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim.
d. Cucu beliau Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan, penulis kitab Fathul Majid
e. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir bin Ma’mar
f. Asy-Syaikh Abdullah Al-Hushain
g. Asy-Syaikh Husain bin Ghannam

7. Karya-karya beliau

Beliau mempunyai banyak karya tulis yang dengannya Allah berikan manfaat kepada alam islami, di antaranya:
a. Kitabut Tauhid
b. Ushulul Iman
c. Kasyfusy Syubhat
d. Tsalatsatul Ushul
e. Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid
f. Mukhtashar Fathul Bari
g. Mukhtashar Zadul Ma’ad
h. Masa’il Jahiliyyah
i. Fadhailush Shalah
j. Kitabul Istimbath
k. Risalah Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah, yaitu risalah ini.
l. Majmu’atul Hadits dan sebagian besarnya telah tercetak dalam kumpulan karya-karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1398 H di Riyadh di bawah pengawasan Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud.

8. Wafat beliau

Beliau rahimahullah wafat pada hari Jum’at di akhir bulan Dzulqa’dah tahun 1206 H pada umur 71 tahun setelah melakukan jihad yang panjang, berdakwah menyerukan kebaikan, mengadakan perbaikan, menyebarkan ilmu dan pengajaran. Kemudian beliau dimakamkan di pekuburan Dir’iyyah, semoga rahmat Allah terlimpah atasnya. Banyak dari para penyair yang melantunkan bait-bait kesedihannya, di antara mereka adalah:

- Asy-Syaukani dalam qasidahnya yang panjang, di antara ucapannya,

“Musibah menimpa kalbuku, berkobar kegundahanku
Dia mengenai titik mematikanku dengan anak panah yang sangat menyakitkan
Dunia tertimpa musibah dengan kepergiannya, menjadi berdebu wajahnya
Dan meninggi bendera-bendera suatu kaum yang dulunya rendah
Sungguh telah wafat gunungnya ilmu, poros penggiling tertinggi
Dan pusat peredaran orang-orang terkemuka lagi mulia
Imamnya petunjuk, penghapus kebodohan, pembungkam kezhaliman
Dan penghilang dahaga dari luapan ilmu…
Muhammad pemilik kemuliaan yang begitu mulia apa yang telah dicapainya
Dan agung kedudukannya untuk bisa disusul oleh orang yang menghambatnya
Sungguh Najd menjadi bercahaya dengan pancaran sinarnya
Dan tegaklah tempat-tempat petunjuk dengan dalil-dalilnya
Tertimpa musibah dengan kepergiannya, terlepas nafas terakhir ruhku
Dan untuk memikul beban ini, terasa lelah punggung bawah dan punggung atasku
Sadarlah wahai orang yang mencela Asy-Syaikh apa yang engkau cela darinya
Sungguh engkau telah mencela suatu kebenaran
Lantas engkau pergi membawa kebatilan
Sadarlah kalian, sadarlah dia bukannya seorang penyeru
Kepada agama nenek moyang dan kabilahnya
Dia hanya menyeru kepada Kitabullah dan sunnah yang
Datang membawanya Thaha , Nabi, sebaik-baik orang yang berbicara


(Silahkan melihat Diwan Asy-Syaukani hal. 160 cet. Darul Fikr)

- Asy-Syaikh Husain bin Ghannam juga melantunkan bait kesedihannya dalam qasidah panjang yang mana awalnya:

Hanya kepada Allah kami memohon untuk menyingkap segala kesusahan
Dan tiada tempat memohon selain kepada Allah Al-Muhaimin
Telah tenggelam mataharinya pengetahuan dan petunjuk
Sehingga mengalirlah darah di pipi dan bercucuranlah air mataku
Seorang imam yang manusia tertimpa musibah dengan kehilangannya
Dan terus mengelilingi mereka berbagai musibah menyakitkan dengan perpisahannya
Menjadi kelam segala penjuru negeri sebab kematiannya
Dan menimpa mereka kesulitan mengerikan yang menyedihkan
Sebuah bintang yang jatuh dari ufuk dan langitnya
Sebuah bintang yang terkubur di tanah berlembah sunyi
Bintang keberuntungan yang bersinar cahayanya
Dan bulan purnama yang mempunyai tempat terbit di tempat sebelah kanan
Dan waktu subuh yang sinarnya menerangi manusia
Sehingga kelamnya kegelapan setelah itu menjadi lenyap


(Dinukil untuk blog www.ulamasunnah.wordpress.com dari Sumber: Ar-Radd ‘alal Rafidhah, tahqiq Abdurrazzaq An-Nahmi)

Biografi Al-Imam Ibnu Abi Hatim

Oleh: Ibrahim bin Abdullah Al Hazhimi

Beliau adalah seorang Hafidz, kritikus, muhadits, ahli tafsir, Al ‘Allamah Abdurrahman Bin Muhammad Bin Idris Bin Mudzir Bin Daud Bin Mahran (Abu Muhammad) Bin Abi Hatim Al Hanzholi Ar Rozi.

Kelahiran, Perkembangan dan Menuntut Ilmu
Beliau dilahirkan tahun 240 Hijriyah. Beliau mengatakan, “Ayahku tidak meninggalkanku dengan hadits sampai aku bisa membaca Al Qur’an dengan belajar kepada Al Fadhl Bin Syadzan”. Setelah itu belia langsung belajar kepada ayahnya Imam Abu Hatim Ar Rozi dan Imam Abu Zur’ah serta selain keduanya yang termasuk muhaddits negeri Ray.

Beliau berkata tentang dirinya , “Aku pernah rihlah bersama ayahku di tahun 255 Hijriyah. Sebelumnya aku belum pernah ‘mimpi’. Ketika sampai di Dzul Hulaifah, aku ‘bermimpi’, maka ayahku gembira karena aku telah mendapatkan hujjah Islam. (Baligh -red)”. Beliau berkata lagi, “Kami berada di Mesir 7 bulan, tidak pernah makan kuah. Siangnya kami mengunjungi para syaikh. Malamnya kami mencatat dan berdiskusi. Pada suatu hari aku dan temanku mendatangi seorang Syaikh. Di perjalanan aku melihat ikan. Ikan itu membuat aku kagum. Maka kami beli. Ketika sampai di rumah, tiba waktu kami mengunjungi majelis sebahagian Syaikh. Maka kami berangkat meninggalkan ikan tesebut demikian sampai 3 hari. Ketika kami memakannya, beliau berkata: Ilmu tidak didapat dengan badan yang santai”

Guru-guru Beliau

Dari kalangan orang-orang dulu adalah Abdullah Bin Sa’id Abu Sa’id Al Asyaj, Ali Bin Al Mundzir, Al Hasan Bin ’Armah, Ibnu Zanjuyah, Muslim Al Hajjaj penulis Shahih Muslim dan yang lainnya.

Murid-Murid Beliau

Al Husain Bin Ali At Tamimi Al Hafidz, Abu Syaikh Al Ashfahani, Abu Ahmad Al Hakim Kabir, Abdullah Bin Asad dan Ibnu Hibban Al Busthi.

Pujian Para Ulama

Abu Ya’la Al Khalili berkata, ”Dia telah mengambil ilmu dari ayahnya dan Abu Zur’ah. Beliau adalah seorang yang memiliki ilmu yang luas bagai lautan dalam hal rijal hadits…. Beliau adalah orang yang zuhud dan dianggap kokoh.” Maslamah Bin Qasim Al Andalusi berkata, ”Beliau adalah seorang yang tsiqah, memiliki kedudukan yang terhormat, seorang imam dari imam-imam negeri Khurasan.”

Adz Dzahabi berkata dalam Tadzkirah, ”Beliau adalah seorang Imam, Al Hafidz, kritikus, Syaikhul Islam”

Wafat Beliau

Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 327 Hijriyah. Semoga Allah merahmati belian dan memberikan kita rizki berupa ilmu beliau dan mengumpulkan kita di surga-Nya.

Karya-karya Beliau

1. Al Jarh Wa Ta’dhil, 9 jilid. Adz Dzahabi berkata tentangnya, ”Beliau dianggap kuat dalam hafalan.”
2. At Tafsir, 4 jilid.
3. ‘Ilaul Hadits.
4. Al Musnad.
5. Al Fawaidul Kabirah.
6. Fawaidur Raziyin.
7. Az Zuhd.
8. Ar Radd Alal Jahmiyah.
9. Tsawabul A’mal.
10. Al Marasil.
11. Al Kuna.
12. Sirah Asy Syafi’i.

Inilah yang bisa saya kumpulkan tentang biografi beliau. Semoga Allah memberikan manfat melalui tulisan ini kepada para pembacanya dan penyebarnya agar diterima di semua tempat…. Dan semoga menjadi amalan yang ikhlas mengharap wajah-Nya yang mulia sebab hanya Allah yang mampu melakukannya. Sholawat dan salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad, keluarganya serta para shahabatnya.

Dinukil dari “Aqidah Ibnu Abi Hatim”
Sumber: Buletin Al Minhaj Edisi I tahun I

Biografi Imam Al-Bukhari: Bayi Ajaib Dari Bukhara

Oleh: Abu Afifah Al Atsary

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.

Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.

Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.

Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam. Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, ‘Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.

Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.

Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari -red)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.

Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) kepada beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud:

Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.

Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.

Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.

Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain)”.

Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.

Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”

Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Maraji’:
Siyar A’laam An-Nubala’ karya Al Imam Adz-Dzahabi
Hadyu As Saari Muqaddimah kitab Fathul Bari karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani
Sumber: Majalah As Salam no VI/Tahun II – 2006 M/ 1427 H
Judul asli: “Bayi Ajaib Dari Bukhara”

Dicopy dari: www.ghuroba.blogsome.com

Biografi Al-Imam Malik Bin Anas

Oleh: Abu Afiifah

Dahulu kala tepatnya tahun 93 H di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Imam Malik.

Kunyah beliau Abu Abdillah, dan nama lengkap beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Beliau diberi gelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Mufti Al Haramain (Mufti dua tanah suci) dan Imam Daarul Hijrah.

Pada tahun yang sama wafat shahabat Nabi Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, pelayan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.

Ayah beliau, Anas adalah seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah. Paman-paman beliau bernama Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhar, semuanya putra Abu ‘Amr.

Imam Malik tumbuh dalam suasana yang penuh pengawasan dan perhatian kedua orang tuanya, serba berkecukupan, dan beliau memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Beliau berperawakan tinggi besar, berambut putih (beruban) dan berjenggot putih lebat. Beliau berwajah tampan dan kulit beliau putih bersih dengan mata jernih kebiru-biruan. Beliau suka sekali memakai baju putih dan beliau selali memakai pakaian yang bersih.

Pada usia belasan tahun Al Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id Al Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu Al Mukandir, Az Zuhri, Abdullah bin Dinaar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya.

Murid-murid Al Imam Malik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan Al Imam Asy Syafi’i.

Sahabat-sahabat Al Imam Malik diantaranya adalah Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, ‘Amr bin Al Harits, Al Auza’i, Syu’bah, Ats Tsauri, Juwairiyyah bin Asma’, Al Laits, Hammad bin Zaid.

Al Imam Malik mempunyai karya yang besar di bidang hadits, yaitu kitab Al Muwattha, karya beliau lainnya adalah Risalah fi Al Qadar, Risalah fi Al Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.

Pujian-pujian yang datang dari para ulama kepada Al Imam Malik membuktikan tingginya reputasi beliau dalam bidang keilmuan, tidak kurang dari murid beliau, Al Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Ilmu itu berputar-putar di sekitar tiga orang, Malik, Laits, dan Ibnu ‘Uyainah”.

Al Imam Ahmad bin Hanbal menuturkan bahwa Imam Malik ditinjau dari sisi ilmu lebih utama dari Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits, Hammad, dan Al Hakam.

Al Qaththan berkata, “Beliau (Al Imam Malik) adalah imam yang patut dijadikan panutan”.

Al Imam Malik adalah seorang tokoh yang gigih menyebarkan dan mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat-pendapat beliau tentang Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tercermin dari ucapan-ucapan beliau diantaranya:

1. Beliau berkata, “Iman itu ucapan dan perbuatan (maksudnya: iman itu keyakinan di dalam hati yang disertai dengan ucapan lisan dan perbuatan anggota badan, pent), bisa bertambah dan berkurang dan sebagiannya lebih utama dari sebagian yang lain.”

2. Beliau berkata, “Al Qur’an itu KALAMULLAH (firman Allah). Kalamullah itu berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala. Dan apa yang berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala itu sekali-kali bukan makhluk”.

3. Beliau berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, maka dia harus dicambuk dan dipenjara”.

4. Beliau berpendapat bahwa orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah Subhanahu Wata’ala pada hari kiamat dengan mata kepala mereka.

Berkenaan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu Al Imam Malik mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut ilmu itu memiliki sifat teguh hati (tabah), tenang pembawaannya (berwibawa), dan Khasyyah (takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala)”.

Beliau sendiri dikenal sebagai orang yang sangat takwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, berwibawa, dan sangat disegani sebagaimana dikatakan Mushab bin Abdullah dalam syairnya,

Jika Beliau tidak menjawab pertanyaan
pertanyaan tidak diajukan lagi
karena orang segan
itu disebabkan kewibawaan dan
cahaya ketakwaannya

Beliau disegani orang kendati bukan penguasa. Al Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Imam Malik.

Sumber bacaan:
Kitab Siyar A’lam An Nubalaa
Karya Al Imam Adz Dzahabi

Sumber: Majalah As Salam
No. V/Tahun II-2006 M/1427 H
Halaman 53-54

(Dicopy dari: http://ghuroba.blogsome.com/2007/11/08/al-imam-malik-bin-anas/)

Biografi Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim

Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.

Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.

Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul Karim sebelum mencapai usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang sempat saya ambil ilmunya adalah:

1. Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
2. Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
3. Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun 1355 H.
4. Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk mempelajari banyak ilmu agama, antara lain: aqidah, fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.

Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.

Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal [1] rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya -red), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa:59)”

TUGAS-TUGAS SYAR’I

” Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah mendapat tugas sebagai:

1. Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun 1357 H.
2. Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
3. Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
4. Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
5. Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.

Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi keIslaman lain seperti:

1. Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
2. Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam lembaga Kibarul Ulama tersebut.
3. Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
4. Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
5. Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
6. Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
7. Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.

Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain:

1. Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
2. At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul Manasik – ini yang terpenting dan bermanfaat – aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
3. At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj, wa Lailatun Nifshi minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah Al Musamma Asy Syaikh Ahmad).
4. Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
5. Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
6. Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu ‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
7. Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
8. Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
9. Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
10. Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
11. Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
12. Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
13. Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu Ada’is Shalah fil Jama’ah, Aina Yadha’ul Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
14. Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
15. Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari – hanya sampai masalah haji.
16. Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa Amakinis Su’udil Kawakib.
17. Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
18. Al Jihad fi Sabilillah.
19. Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah wal Ziarah.
20. Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal Bid’ah.”

Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat wa Nashaih hal 8-13.

AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH

Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘alal Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri beliau pada umumnya, hingga al haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Akan tetap ada pada umatku kelompok yang menampakkan kebenaran (al haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya”

Foot note:

[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam mempelajari masalah fiqih atau hadits. Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil semua hadits yang diriwayatkannya.

Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418 H/1998 M hal 48-49
Judul Asli: “Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli Fiqih Jaman Ini”

WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)

Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H / 13 Mei 1999 M. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatinya. Amin.

Sumber keterangan tambahan: www.fatwaonline.com
(dicopy dari www.ghuroba.blogsome.com, semoga Allah membalas kebaikan adminnya)

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Beliau adalah Pembaharu Islam (mujadid) pada abad ini. Karya dan jasa-jasa beliau cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu Hadits. Beliau telah memurnikan Ajaran islam terutama dari hadits-hadits lemah dan palsu, meneliti derajat hadits.

Nasab (Silsilah Beliau)

Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu. Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari`at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.

Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum`iyah al-Is`af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida`iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur`an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.

Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.

Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni `an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar. Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya` Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).

Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.

Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Pengalaman Penjara

Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid`ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jami`ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam`iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Beberapa Karya Beliau

Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :

1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
5. At-Tawasul wa anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha

Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.

Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.

Wafatnya

Beliau wafat pada hari Jum`at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi`ah wa jazahullahu`an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na`im al-Muqim.

Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com//?p=11

Biografi Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i

Beliau adalah Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qanidah Al-Hamadani Al-Wadi’i Al-Khallaaly dari kabilah Aalu Rasyid dan di timur Sha’dah dari lembah Dammaj. Pada permulaan mencari ilmu, beliau belajar pada sebuah jami’ Al-Hadi dan tak ada seorangpun pada waktu itu yang membantunya dalam thalabul ilmi. Selang beberapa waktu beliau pergi menuju Al-Haramain dan Najd.

Suatu ketika seorang penceramah memberinya nasihat tentang kitab-kitab yang ber-manfaat dan menunjukkannya pada Shahih Bukhari, Bulughul Maram, Riyadlush Shalihin, Fathul Majid dan memberinya satu nuskhah dari Kitab Tauhid. Beliau menekuni dan mempelajari buku-buku tersebut. Beberapa waktu kemudian beliau pulang ke negerinya dan mengingkari setiap apa yang dilihatnya yang menyelisihi tauhid dari penyembelihan yang diperuntukkan selain kepada Allah, membangun kubah di atas kuburan dan berdoa kepada orang-orang yang telah mati.

Ketika berita ini terdengar oleh orang-orang Syi’ah pada waktu itu, mereka mengatakan, “Barang-siapa yang mengubah ajaran agamanya, maka bunuhlah!” Sebagian dari mereka mengadukan kepada kerabat-kerabat Syaikh, “Jika kalian tidak melarangnya, maka kami akan memenjarakannya.” Setelah itu mereka memutuskan untuk memasukkannya kembali ke Jami’ Al-Hadi untuk belajar pada mereka dan menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada Syaikh (menurut anggapan mereka pent). Berkata Syaikh, “Ketika aku melihat kurikulum yang ditetapkan adalah Syi’ah Mu’tazilah maka aku putuskan untuk konsentrasi dalam ilmu nahwu.” Dan tatkala terjadi perubahan politik antara Republik dan Kerajaan (Yaman), beliau meninggalkan negerinya dan pergi ke Najran untuk ber-mulazamah kepada Abul Husain Majduddin Al-Muayyid dan men-dapatkan faedah darinya, terlebih khusus dalam bahasa Arab. Beliau tinggal di sana selama kurang lebih selama dua tahun, kemudian ber-’azzam untuk ber-rihlah (menempuh perjalanan pent) ke negeri Haramain dan Najd dan belajar pada sebuah madrasah tahfizh Al-Qur’an Al-Karim. Kemudian bertekad lagi untuk safar ke Makkah dan beliau menghadiri durus (halaqoh-halaqoh ilmu pent) di antaranya adalah Syaikh Yahya bin Utsman Al-Baqistani dan Syaikh Al-Qadhi Yahya Asywal dan Syaikh Abdurrazzaq Asy-Syahidi Al-Mahwithi. Lalu beliau masuk ke ma’had Al-Haram Al-Makki dan selesai dari tingkatan mutawasith dan tsanawi beliau pindah ke Madinah dan masuk ke Jami’ah Al-Islamiyah pada fakultas da’wah dan ushuluddin. Saat tiba waktu liburan Syaikh merasa takut kehilangan waktunya, sehingga beliau mengikutsertakan dirinya pada fakultas syari’ah untuk menambah ilmu. Karena materi-materinya saling berdekatan dan sebagiannya sama, maka hal itu dianggap sebagai murajaah (pengulangan) atas yang beliau pelajari di fakultas da’wah.

Selesai dari dua fakultas ini, Syaikh berkata, “Aku diberi dua ijazah, namun alhamdulillah aku tidak menghiraukannya, yang terpenting bagiku adalah ilmu.” Setelah selesai dari dua fakultas ini dibukalah di jami’ah untuk tingkatan lanjutan yaitu magister, beliaupun mendaftarkan dirinya dan beliau berhasil dalam ujian penerimaannya yaitu dalam bidang ilmu hadits. Berkata Syaikh, “Setelah ini semua, aku tinggal di perpustakaanku. Hanya beberapa saat berdatanganlah sebagian saudara-saudara dari Mesir, maka aku buka pelajaran-pelajaran dari sebagian kitab-kitab hadits dan kitab-kitab bahasa. Dan masih saja para thalabul ilmi berdatangan dari Mesir, Kuwait, Haramain, Najd, ‘Adn, Hadramaut, Al-Jazair, Libia, Somalia, Belgia dan dari kebanyakan negeri-negeri Islam dan yang lainnya.”

Gunung-gunung dan pasir serta lembah-lembah menjadi saksi bagi Abu Abdirrahman (nama kunyah Syaikh Muqbil pent) dalam penyebaran Sunnah dan kesabarannya dalam menanamkan pada hati manusia serta permusuhannya terhadap bid’ah dengan fadhilah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Guru-guru beliau yang paling masyhur :

1. Abdul Aziz As-Subail
2. Abdullah bin Muhammad bin Humaid
3. Abdul Aziz bin Rasyid An-Najdi
4. Muhammad bin Abdillah Ash-Shoumali
5. Muhammad Al-Amin Al-Mishri
6. Hammad bin Muhammad Al-Anshori
7. Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz (beliau pernah hadir mengikuti sebagian halaqoh ilmunya di Haramun Madani yaitu pada kitab Shahih Muslim)
8. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (beliau mengambil faidah darinya pada pertemuan khusus para thalabatul ilmi dan pada kesempatan-kesempatan yang lainnya).

Sebagian dari karya-karya Syaikh :

1. Ash-Shahih Al-Musnad min Asbabin Nuzul
2. Al-Ilzamaat wat-Tatabbu’
3. Asy-Syafa’at
4. Ash-Shahih Al-Musnad mimma laisa fish-Shahihaini
5. Ash-Shahih Al-Musnad min Dalaailin Nubuwwati
6. Al-Jami’u Ash-Shahih fil-Qadari
7. Al-jami’u Ash-Shahih mimma laisa fish- Shahihaini (tersusun sesuai dengan bab-bab fiqhiyyah)
8. Tatabbu’u Awhamil Hakim fi al-Mustadrak al-lati lam yunabbih ‘alaiha Adz-Dzahabi ma’a Tarajimi lir-ruwati alladzina laisu min rijali Tahdzibi At-Tahdzib
9. As-Suyufu Al-Bathirat li ilhadi Asy-Syuyuiyyah Al-Kafirah
10. Ijabatu As-Saili ‘an ahammi Al-Masaili
11. Dan beliau juga mempunyai sekitar 33 karya yang lain.

Beberapa murid-murid Syaikh yang menonjol, murid-murid beliau sangat banyak sekali tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah, kami sebutkan beberapa di antaranya yang menonjol dari kalangan muallifin (penulis buku), para dai-dai, dan selain mereka :

1. Ahmad bin Ibrahim Abul Ainain Al-Mishri
2. Ahmad bin Sa’id Al-Asyhabi Al-Hajari Abul Mundzir
3. Usamah bin Abdul Latif Al-Kushi, penulis kitab Al-Adzan
4. Abdullah bin Utsman Ad-Damari, beliau terkenal sebagai pemberi ceramah kalangan Ahlussunnah di Yaman
5. Abdul Aziz bin Yahya Al-Bura’i
6. Abdul Mushawwir bin Muhammad Al- Ba’dani
7. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobi Abdali
8. Muhammad bin Abdillah Al-Imam Abu Nashr Ar-Raimi
9. Musthofa bin Ismail Abul Hasan As- Sulaimani Al-Maghribi
10. Musthofa ibnul Adawi Al-Mishry
11. Yahya bin Ali Al-Muri
12. Abdur Raqib bin Ali Al-Ibbi
13. Qasim bin Ahmad Abu Abdillah At-Taizi
14. Jamil bin Ali Asy-Syaja’ Ash-Shobari
15. Ali bin Abdillah Abul Hasan Asy-Syaibani
16. Auf bin Abdillah Al-Bakkari Abu Harun
17. Utsman bin Abdillah Al-Utmi
18. Ummu Abdillah binti Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, penulis kitab Ash-Shahihul Musnad min Asy-Syamaili Al-Muhammadiyyah dan yang lainnya.

Diringkas oleh Abu Malik Adnan Al-Maqthori
Dinukil dari “Silsilah Al Muntaqo min Fatawa
As Syaikh Al Allamah Muqbil bin Hadi AL Wadi’i”
Judul Indonesia “Risalah Ramadan untuk Saudaraku
Kumpulan 44 Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi”
Penerbit Pustaka At Tsiqaat Press

Sumber: http://ghuroba.blogsome.com/

Biografi Syaikh Shalih Al Fauzan

Beliau adalah yang mulia Syaikh Dr. Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah dari keluarga Fauzan dari suku Ash Shamasiyyah.Beliau lahir pada tahun 1354 H/1933 M. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih muda, jadi beliau dididik oleh keluarganya. Beliau belajar al Quran, dasar-dasar membaca dan menulis dengan imam masjid di kotanya, yaitu yang mulia Syaikh Hamud ibn Sulaiman at Tala’al, yang kemudian menjadi hakim di Kota Dariyyah (bukan dar’iyyah di Riyadh) di sebuah wilayah Qhosim.

Syaikh Fauzan kemudian belajar di sekolah negara bagian ketika baru dibuka di Ash Shamasiyyah pada tahun 1369 H/1948 M. Beliau menyelesaikan studinya di sekolah Faisaliyyah di Buraidah pada tahun 1371 H/1950 M. Kemudian, beliau ditugaskan sebagai guru sekolah taman kanak-kanak. Selanjutnya, beliau masuk di institute pendidikan di Buraidah ketika baru dibuka pada tahun 1373 H/1952 M, dan lulus dari sana tahun 1377 H/1956 M. Beliau kemudian masuk di Fakultas Syari’ah (Universitas Imam Muhammad) di Riyadh dan lulus pada tahun 1381 H/1960 M.

Setelah itu, beliau memperoleh gelar master di bidang fiqih, dan meraih gelar doctor dari fakultas yg sama, juga spesialis dalam bidang fiqih.

Setelah kelulusannya dari Fakultas Syari’ah, beliau ditugaskan sebagai dosen di institut pendidikan di Riyadh, kemudian beralih menjadi pengajar di Fakultas Syari’ah. Selanjutnya, beliau ditugasi mengajar di departemen yang lebih tinggi, yaitu Fakultas Ushuluddin. Kemudian beliau ditugasi untuk mengajar di mahkamah agung kehakiman, di mana beliau ditetapkan sebagai ketua. Beliau lalu kembali mengajar di sana setelah periode kepemimpinannya berakhir. Beliau kemudian menjadi anggota Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam (Kibaril Ulama), sampai sekarang.

Yang mulia Syaikh adalah anggota ulama kibar, dan anggota komite bidang fiqih di Mekkah (cabang Rabithah), dan anggota komite untuk pengawas tamu haji, sembari juga mengetuai keanggotaan pada Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam. Beliau juga imam, khatib, dan dosen di Masjid Pangeran Mut’ib ibn Abdul Aziz di al Malzar.

Beliau juga ikut serta dalam surat-menyurat untuk pertanyaan di program radio “Noorun ‘alad-Darb”, sambil beliau juga ikut serta dalam mendukung anggota penerbitan penelitian Islam di dewan untuk penelitian, studi, tesis, dan fatwa Islam yang kemudian disusun dan diterbitkan. Yang mulia syaikh Fauzan juga ikut serta dalam mengawasi peserta tesis dalam meraih gelar master dan gelar doctor.

Beliau mempunyai murid-murid yang sering menimba ilmu pada pertemuan dan pelajaran tetapnya.

Beliau sendiri termasuk bilangan para ulama terkemuka dan ahli hukum, yang mayoritas para tokohnya antara lain:

Yang mulia Syaikh ‘Abdul-’Azeez ibn Baaz (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh ‘Abdullaah ibn Humayd (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh Muhammad al-Amin ash-Shanqiti (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh Saalih Ibn ‘Abdur-Rahmaan as-Sukayti;
Yang mulia Syaikh Saalih Ibn Ibraaheem al-Bulaihi;
Yang mulia Syaikh Muhammad Ibn Subayyal;
Yang mulia Syaikh ‘Abdullaah Ibn Saalih al-Khulayfi;
Yang mulia Syaikh Ibraaheem Ibn ‘Ubayd al-’Abd al-Muhsin;
Yang mulia Syaikh Saalih al-’Ali an-Naasir;

Beliau juga pernah belajar pada sejumlah ulama-ulama dari Universitas al Azhar Mesir yang mumpuni dalam bidang hadist, tafsir, dan bahasa Arab.

Beliau mempunyai peran dalam menyeru atau berdakwah kepada Allah dan mengajar, memberikan fatwa, khutbah, dan membantah kebatilan.

Buku-buku beliau yang diterbitkan banyak sekali, namun yang disebutkan berikut hanya sedikit antara lain Syarah al Aqidatul Waasitiyyah, al Irshadul Ilas Sahihil I’tiqad, al Mulakhkhas al Fiqih, makanan-makanan dan putusan-putusan berkenaan dengan sembelihan dan buruan, yang mana ini merupakan bagian gelar doktornya. Juga kitab at Tahqiqat al Mardiyyah yang merupakan bagian gelar master beliau. Lebih lanjut judul-judul yang masuk putusan-putusan berhubungan dengan kepercayaan wanita, dan sebuah bantahan terhadap buku Yusuf Qaradhawi berjudul al Halal wal Haram.

dicopy dari:

http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/26/syaikh-shalih-ibn-fauzan-ibn-abdullah-ibn-fauzan/

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Penulis: Abu Muqbil bin Muhammad Hasyim


Nama dan Nasab:
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.

Kelahiran Beliau:
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau:
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain.
Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga beliau:
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau:
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.

Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama terhadap beliau:
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.

Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

Kezuhudannya:
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh raka’at.

Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu’ dengan kebaikannya:
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.

Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.

Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.

Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.

Hati-hati dalam berfatwa:
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.

Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.

Masa Fitnah:
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.

Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.

Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.

Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalianKhabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.

Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.

Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.

Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.

Murid-murid Beliau:
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.

Wafat beliau:
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya:
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh

Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya.

Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala
Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah
Sumber: Majalah As Salam

Sumber http://darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=763