31 Agu 2012

Bolehkah Mendahulukan Puasa Sunnah dari Qodho Puasa ?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Permasalahan ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho’ puasa. Di bulan Syawal pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho’ (utang) puasa? Lantas bagaimana jika hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna karena mesti mengqodho’ puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut.

Perselisihan Ulama[1]

Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho’ puasa Ramadhan.

Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.

Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”

Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).

Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa kafaroh.  Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”

Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan).  Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,

من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه


Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan,  maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.

Merujuk pada Dalil

Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di atas.

Dalam mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ


Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ


Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.”[4]

Pendapat Terkuat

Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho’ puasa selama waktu mengqodho’ puasa masih longgar. Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen).  Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa ada kelapangan.”[5]

Masalah Puasa Syawal

Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ


Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[6]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”[7]

Ibnu Rajab rahimahullah kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.”[8]

Sebelumnya Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.”[9]

Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat –sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.

Kasus Wanita Haidh

Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.

Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal[10] baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً


Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya). Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal).”[11]

Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya. Jadi tetaplah dahulukan qodho’ puasa, itulah yang lebih utama.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
www.muslim.or.id




[1]Lihat pembahasan ini di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/9997-9998, index “Shoum At Tathowwu’”, point 23.

[2] HR. Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan dinilai dho’if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah,  Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah wal Mawdhu’ah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352).

[3] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146.

[4] Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 4/191.

[5] Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6/448. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.

[6] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.

[7] Lathoif Al Ma’arif, Ahmad bin Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.

[8] Idem.

[9] Idem.

[10] Sebagian ulama  (seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah) menganjurkan mengqodho’ puasa Syawal di bulan Dzulqo’dah. Al Bahuti, penulis Kasyaful Qona’ (kitab fiqh Hambali) berkata, “Keutamaan puasa enam hari Syawal tidaklah diperoleh jika puasa tersebut dilakukan selain di bulan Syawal. Demikianlah yang dipahami dari tekstual hadits.” (Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, Mawqi’ Al Islam, 6/132)

[11] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.

29 Agu 2012

Sifat-sifat Bidadari Surga

Sesungguhnya segala kenikmatan yang ada di surga tidak bisa dikhayalkan oleh benak kita.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللهُ : أَعْدَدَتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، وَاقْرَأُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Dari Abu Huroiroh, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

“Allah telah berfirman : Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang sholeh (di surga) kenikmatan-kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata-mata, dan tidak pernah terdengar oleh telinga-telinga, dan tidak pernah terbetik dalam benak manusia”,

Jika kalian ingin maka silahkan bacalah (firman Allah) :

فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan” (QS As-Sajdah : 17) (HR Al-Bukhari no 3072 dan Muslim no 7310)
Apa saja kenikmatan yang ada di surga tidak bisa dibayangkan oleh kita. Meskipun nama-nama kenikmatan-kenikmatan yang ada di surga kita ketahui sebagaimana kenikmatan-kenikmatan yang ada di dunia, akan tetapi hakekat keduanya berbeda. Yang sama hanyalah nama, adapun hakekat berbeda. Di surga ada anggur, delima, kurma dan buah-buah yang lain akan tetapi tidak sama hakekatnya dengan anggur, kurma, dan delima yang ada di bumi. Sebagaimana hakekatnya berbeda, demikian juga kelezatan yang dirasakan berbeda. Demikian juga benda-benda yang lain yang ada di surga, seperti emas, perak, mutiara, sungai, khomr, madu, istana, dan lain-lain, hakekatnya dan kelezatannya semua berbeda dengan apa yang ada di bumi.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa pernah berkata:

لَيْسَ فِى الْجَنَّةِ شَيْءٌ مِمَّا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ الأَسْمَاءَ

“Tidak ada sesuatupun yang ada di surga dari perkara-perkara yang ada di dunia kecuali hanya sekedar nama-nama” (Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 2188)

Demikian pula dengan wanita surga berbeda dengan wanita dunia, meskipun namanya sama-sama wanita akan tetapi hakekat diantara keduanya sangat jauh berbeda.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentang wanita surga :

وَلَوْ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ اطَّلَعَتْ إِلَى الْأَرْضِ لَأَضَاءَتْ مَا بَيْنَهُمَا وَلَمَلأَتْ مَا بَيْنَهُمَا رِيْحًا وَلَنَصِيْفُهَا - يَعْنِي الْخِمَارَ - خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Kalau seandainya seorang wanita surga muncul ke dunia maka dia akan menyinari antara bumi dan langit, dan akan memenuhi bau yang semerbak antara bumi dan langit, dan sungguh kerudungnya lebih baik daripada dunia dan seisinya” (HR Al-Bukhari no 6199)

Tentu jika kita membaca hadits ini maka kita tidak akan mampu untuk membayangkan tentang bidadari tersebut. Bidadari yang begitu bercahaya dan begitu harum.. bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan bahwasanya kerudung yang ada di atas kepala bidadari ternyata lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Padahal kita tahu bahwa di antara isi dunia adalah kecantikan-kecantika wanita dunia…akan tetapi ternyata kecantikan-kecantikan para wanita dunia masih kalah dengan kerudung bidadari. Maka bagaimana lagi dengan wajah bidadari…???

Dan jika kita menelaah hadits-hadits yang lain tentang sifat-sifat bidadari maka kita akan semakin yakin akan ketidakmampuan kita untuk membayangkan hakekat bidadari.

Bagaimana kita bisa membayangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bidadari berikut ini:

كَبِدُهَا مِرْآتُهُ وَكَبِدُهُ مِرْآتُهَا

“Hati sang bidadari merupakan cermin bagi sang lelaki dan hati sang lelaki juga menjadi cermin bagi sang bidadari”
.(Hadits ini di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih at-Targhiib wa at-Tarhiib 3/227 no 3591)

Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يُرَى مُخُ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ لَحْمِهَا مِنَ الْحُسْنِ

“Bidadari tersebut terlihat sum-sum tulang betisnya di belakang dagingnya karena indahnya” (HR Al-Bukhari no 3074 dan Muslim  no 7330)

Ali Al-Qoori berkata:

((مِنَ الْحُسْنِ)) أَيْ مِنْ أَجْلِ لَطَافَةِ خِلْقَتِهِنَّ، قَالَ الطِّيْبِي رَحِمَهُ اللهُ : هُوَ تَتْمِيْمٌ صَوْنًا مِنْ تَوَهُّمِ مَا يُتَصَوَّرُ مِنْ تِلْكَ الرُّؤْيَةِ مِمَّا يَنْفُرُ عَنْهُ الطَّبَعُ، وَالْحُسْنُ هُوَ الصَّفَاءُ وَرْقَّةُ الْبَشَرَةِ وَنُعُوْمَةُ الْأَعْضَاءِ

“Sabda Nabi ((Karena indahnya)) yaitu karena lembutnya dan halusnya tubuh para bidadari. At-Thiibi rahimahullah berkata : Sabda Nabi ini merupakan penyempurnaan untuk menjaga agar jangan sampai disalah pahami, disangka ini merupakan pandangan yang dirasa ngeri oleh tabi’at. Dan sabda Nabi ((keindahan)) yaitu bersih dan lembutnya kulit serta halusnya anggota-anggota tubuh” (Mirqootul Mafaatiih 16/226)

Tentang putihnya bidadari, Allah berfirman :

كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ (٤٩)

“Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik”
(QS As-Shooffaat : 49)

Ibnu Abbas berkata اللُّؤْلُؤْ الْمَكْنُوْنُ ((yaitu mutiara-mutiara putih yang tersimpan)) (lihat Ad-Dur Al-Mantsuur 7/89)

Yang hal ini menunjukkan bagaimana sempurnanya putihnya para bidadari, karena putihnya  mereka adalah putih yang terjaga dari segala sentuhan. Ibarat mutiara-mutiara yang putih yang tersimpan kokoh dalam cangkangnya, terjaga dari segala sentuhan, terjaga dari sinar matahari, terjaga dari segala sesuatu yang bisa mencoreng murninya dan bersihnya warna putih tersebut. Demikian pula para bidadari, putih tubuh mereka sempurna.

Allah telah mengabungkan sifat putihnya bidadari dan juga bening dan bersihnya bidadari dalam firman

كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ (٥٨)

“Seakan-akan para bidadari itu permata yakut dan mutiara” (QS Ar-Rahman : 58).

Qotaadah dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumallahu berkata tentang ayat ini :

فِي صَفَاءِ الْيَاقُوْتِ وَبَيَاضِ اللُّؤْلُؤِ

“Para bidadari seperti permata dalam hal bening tubuh mereka dan seperti mutiara dalam putihnya” (Lihat Ad-Dur Al-Mantsuur 7/712)

Putih dan beningnya bidadari tersebut ternyata terlihat di balik 70 gaun indah yang dipakainya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لِكُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ عَلَى كُلِّ زَوْجَةٍ سَبْعُوْنَ حُلَّةً يَبْدُو مُخُ سَاقِهَا مِنْ وَرَائِهَا

“Bagi setiap penghuni surga dua istri (dari bidadari), yang masing-masing bidadari tersebut memakai 70 gaun, nampak sum-sum betisnya di balik 70 gaun tersebut” (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1736)

Dalam hadits yang lain

إِنَّ الْمَرْأَةَ مِنْ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَيُرَى بَيَاضُ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ سَبْعِيْنَ حُلَّةً

“Sesungguhnya seorang wanita surga sungguh terlihat putih betisnya di balik 70 gaun” (HR At-Thirmidzi no 2533 ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Maka bagaimana kita bisa mengkhayalkan ini semua, bagaimana bisa beningnya tubuh bidadari (bahkan sum-sum tulang betisnya) bisa terlihat di balik 70 gaun…?? Seperti apakah putihnya kulit bidadari sehingga bisa terlihat di balik 70 gaun…??.

Tentunya akal kita tidak sampai untuk bisa mengkhayalkan ini semua…jangankan untuk mengkhayalkan bidadari…bahkan untuk mengkhayalkan kerudungnya saja (yang dikatakan oleh Nabi bahwa kerudung bidadari lebih baik dari dunia dan seisinya) kita tidak mampu…untuk mengkhayal gaun yang dipakai bidadari bagaimana modelnya dan dari apa bahannya kita tidak mampu…, maka bagaimana lagi dengan bidadari itu sendiri??!!.

Bayangkan jika anda adalah sang penghuni surga…, lantas anda bertemu dengan sang bidadari… lantas andapun melepaskan 70 gaun sang bidadari tersebut satu persatu… sementara bening dan putihnya betis bidadari sudah terlihat…, bagaimana anda tidak bersemangat untuk melepaskan gaun-gaun indah tersebut..??!!

Selain itu kemampuan kita untuk mengkhayal terbatas… kemampuan kita mengkhayal adalah didukung oleh penangkapan panca indra kita, kita hanya bisa menganalogikan khayalan kita dengan apa yang pernah kita tangkap dengan panca indra kita. Karenanya kita hanya bisa mampu menghayal wanita tercantik yang pernah kita lihat di dunia ini, lebih dari itu maka otak kita tidak mampu. Sebagaimana jika kita memaksakan diri kita untuk menghayalkan bagaimana tampannya Nabi Yusuf ‘alaihi salam yang menjadikan para wanita mengiris-ngiris tangan-tangan mereka dengan tidak sadar karena takjub dengan ketampanan beliau ‘alaihi salam, maka kita tidak akan mampu menghayalkan ketampanan beliau. Kita hanya bisa mengkhayalkan lelaki tertampan yang pernah kita lihat di dunia ini.

Karenanya sifat-sifat bidadari yang akan dijelaskan dalam tulisan ini hanyalah sebagai penggambaran akan cantik dan moleknya para bidadari, akan tetapi hakekat yang sebenarnya tidak akan bisa kita khayalkan…kita hanya bisa mengetahui hekekat para bidadari yang sebenarnya jika kita melihat langsung bidadari-bidadari tersebut… Yaa Allah mudahkanlah kami untuk melihat mereka dan mendekap mereka…aaamiiin… yaa Allah ampunilah dosa-dosa kami, pandangan kami yang tidak kami jaga…, janganlah Engkau menjadikan dosa-dosa kami sebagai penghalang kami untuk mengecup bibir para bidadari…(bersambung pada topik selanjutnya : Sya’ir Ibnu Qoyyim tentang sifat-sifat bidadari)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 21-10-1432 H / 19 September 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

28 Agu 2012

Bahaya Riya

RIYA DAN BAHAYANYA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari' (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”

BAHAYA RIYA[1]
Di dalam al Qur`an dan as Sunah banyak sekali ancaman tentang bahaya riya'. Riya' termasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap diri, amal, masyarakat dan umat. Dan ia juga termasuk dosa besar yang merusak. Di antara bahaya riya' adalah sebagai berikut :

1. Riya' Lebih Berbahaya Bagi Kaum Muslimin Daripada Fitnah Masiih Ad Dajjal.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

"Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,”Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya". [HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa'id al Khudri. Hadits ini hasan-Shahih at Targhib wat Tarhib, no. 30]

2. Riya' Lebih Sangat Merusak Daripada Serigala Menyergap Domba

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda : “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan dilepaskan di tengah sekumpulan domba lebih merusak daripada ketamakan seorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya". [HSR Ahmad, III/456; Tirmidzi, no. 2376; Darimi, II/304, dan yang lainnya dari Ka'ab bin Malik].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan rusaknya agama seorang muslim karena tamaknya kepada harta, kemuliaan, pangkat dan kedudukan. Semua ini menggerakkan riya' di dalam diri seseorang.

3. Amal Shalih Akan Hilang Pengaruh Baiknya Dan Tujuannya Yang Besar Bila Disertai Riya'.
Allah berfirman :

"Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya' dan mencegah (menolong dengan) barang yang berguna". [al Ma’uun : 4-7]
.
Orang yang berbuat riya' dan tidak mau menolong orang lain, karena shalat mereka tidak mempunyai pengaruh dalam hati mereka, sehingga mencegah kebaikan dari hamba-hamba Allah. Mereka hanyalah menunaikan gerakan-gerakan shalat dan memperindahnya, karena semua mata memandangnya, padahal hati mereka tidak memahami, tidak tahu hakikatnya dan tidak mengagungkan Allah. Karena itu, shalat mereka tidak berpengaruh terhadap hati dan amal. Riya' menjadikan amal itu kosong tidak ada nilainya.

4. Riya' Akan Menghapus Dan Membatalkan Amal Shalih.
Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir". [al Baqarah : 264].

Hati yang tertutup riya' ibarat batu licin yang tertutup tanah. Orang yang berbuat riya' tidak akan membuahkan kebaikan, bahkan ia telah berbuat dosa yang akan dia peroleh akibatnya pada hari Kiamat. Riya' menghapuskan amal shalih, dan seseorang tidak mendapatkan apa-apa karenanya di akhirat nanti dari amal-amal yang pernah ia lakukan di dunia. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ الرِّيَاءُ ، يَقُوْلُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا ، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاَءً ؟!

"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya'. Allah akan mengatakan kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia “Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya' kepada mereka di dunia. Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka?" [HR Ahmad, V/428-429 dan al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, XIV/324, no. 4135 dari Mahmud bin Labid. Lihat Silsilah Ahaadits Shahiihah, no. 951]

Pelaku riya' akan memamerkan amalnya agar dipuji, disanjung dan mendapatkan kedudukan di hati manusia. Dia tidak akan mendapat ganjaran kebaikan dari Allah, dan tidak pula dari orang-orang yang memujinya, karena yang berhak memberi balasan hanya Allah saja. Allah berfirman dalam hadits Qudsi :

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

"Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya" [HR Muslim, no. 2985 dan Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah)]

5. Riya' Adalah Syirik Khafi (Tersembunyi).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

"Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,“Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu ia menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya".[HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa'id al Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389]

6. Riya' Mewariskan Kehinaan Dan Kerendahan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ ، سَمَّعَ اللهُ بِهِ مَسَامِعَ خَلْقِهِ ، وَصَغَّرَهُ وَحَقَّرَهُ

"Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hambaNya, Allah rendahkan dia dan menghinakannya". [HR Thabrani dalam al Mu’jamul Kabiir; al Baihaqi dan Ahmad, no. 6509. Dishahihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir. Lihat Shahiih at Targhiib wat Tarhiib, I/117, no. 25].

7. Pelaku Riya' Tidak Akan Mendapatkan Ganjaran Di Akhirat.
Dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ ، وَالدِّيْنِ ، وَ النَّصْرِ ، وَ التَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ

"Sampaikan kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat". [HR Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825]

8. Riya' Akan Menambah Kesesatan Seseorang.
Allah Ta'ala berfirman :

"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta". [al Baqarah : 9-10].

9. Riya' Merupakan Sebab Kekalahan Ummat Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَ صَلاَتِهِمْ , وَ إِخْلاَصِهِمْ

"Sesungguhnya Allah akan menolong umat ini dengan orang-orang yang lemah, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka" [HSR an Nasa-i, VI/45, dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash][2]

Ikhlas karena Allah menjadi sebab ditolongnya umat ini dari musuh-musuh mereka. Allah melarang kita keluar berperang dengan sombong dan riya', karena hal ini akan membawa kepada kekalahan. Allah berfirman :

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan". [al Anfaal : 47].

BEBERAPA PERKARA YANG TIDAK TERMASUK RIYA'[3]

Ada beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang sebagai perbuatan riya', padahal sesungguhnya tidak demikian. Perkara-perkara tersebut adalah.

1. Pujian Manusia Atas Seorang Hamba Atas Amal Baik Yang Ia Lakukan Tetapi Bukan Tujuannya Ingin Dipuji.

Apabila seseorang mengamalkan sesuatu perbuatan dengan ikhlas dan sampai selesai amal itu pun dilakukan dengan ikhlas, kemudian ada yang mengetahui amal tersebut lalu memujinya, namun ia tidak menghendaki yang demikian itu, maka hal itu tidak termasuk riya'. Seperti dalam hadits Abu Dzar:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ ، قَالَ : قِيْلَ لِرَسُولِ اللهِ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ ، وَ يَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟ قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang seseorang yang mengerjakan satu amal kebaikan, lalu orang memujinya?” Beliau menjawab,”Itu merupakan kabar gembira bagi orang mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia." [HSR Muslim, 2642; Ibnu Majah, no. 4225 dan Ahmad, V/156, 157; dari sahabat Abu Dzar].

Namun ia tidak berlaku 'ujub, dan tidak pula sengaja agar orang mengetahui kebaikannya.

2. Giatnya Seorang Hamba Dalam Berbuat Kebaikan Ketika Ada Orang Yang Melihatnya Dan Ketika Menemani Orang-Orang Yang Ikhlas Dan Orang Shalih.

Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 689 H) menjelaskan dalam kitabnya, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 288: "Adakalanya seseorang berada di tengah orang-orang yang tekun beribadah. Ia melakukan shalat hampir sebagian besar malam karena kebiasaan mereka adalah bangun malam. Dia pun mengikuti mereka melaksanakan shalat dan puasa. Andaikata mereka tidak melaksanakan shalat malam, maka iapun tidak tergugah untuk melakukan kegiatan itu. Mungkin ada yang menganggap bahwa kegiatan orang itu termasuk riya', padahal tidak demikian sebenarnya, bahkan hal itu perlu dirinci. Setiap orang mukmin tentunya ingin banyak beribadah kepada Allah, tetapi kadang-kadang ada satu dua hal yang menghambat atau yang melalaikannya. Maka boleh jadi dengan melihat orang lain yang aktif dalam melakukan kegiatan ibadah, membuatnya mampu menyingkirkan hambatan dan kelalaian itu. Bila seseorang berada di rumahnya, lebih mudah baginya untuk tidur di atas kasur yang empuk dan bercumbu dengan istrinya. Tetapi bila dia berada di tempat yang jauh, ia tidak disibukkan oleh hal-hal itu. Kemudian ada beberapa faktor pendorong yang membangkitkannya untuk berbuat kebajikan, di antaranya keberadaannya di tengah orang yang beribadah atau disaksikan oleh mereka. Boleh jadi dia merasa berat berpuasa ketika berada di rumah, karena di dalamnya ada banyak makanan. Dalam keadaaan seperti itu, setan terus menggoda untuk menghalanginya dari ketaatan sambil berkata ‘jika engkau berbuat di luar kebiasannmu, berarti engkau adalah orang yang berbuat riya',’ maka dia tidak boleh memperdulikan bisikan setan ini. Dia harus melihat pada tujuan batinnya dan jangan sekali-sekali ia menoleh kepada bisikan setan”.

3. Menyembunyikan Dosa
Wajib bagi seorang mukmin atas mukmin lainnya, apabila berbuat suatu kesalahan, hendaklah ia tutupi dan jangan ia tampakkan dosanya. Kemudian ia wajib segera bertobat kepada Allah. Karena, menceritakan maksiat yang telah terlanjur dilakukan, berarti menyiarkan kekejian di antara kaum mukminin dan akan membuat dia meremehkan batas-batas Allah. Allah berfirman :

"Sesungguhnya orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu disiarkan di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui". [an Nuur : 19].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافىً إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ ، وَ إِنَّ مِنَ الْمُجَاهِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَ قَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلَ : يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كذَا وَ كَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَ يُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

"Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan. Sesungguhnya termasuk terang-terangan ialah, jika seseorang melakukan suatu amal (dosa) pada malam hari, kemudian pagi harinya ia bercerita. Padahal pada malamnya Allah sudah menutupi dosanya. Ia katakana, hai Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu, padahal malam itu Allah sudah menutupi dosanya, namun pagi harinya ia justru menyingkap tutupan Allah pada dirinya". [HSR Bukhari, no. 6069 dan Muslim, no. 2990 dari Abu Hurairah].

4. Mengenakan Pakaian Indah Dan Bagus
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ،قَالَ رَجُلٌ : إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَ نَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ : إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat dzarrah (biji atom)”. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus,” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan; sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". [HR Muslim, no. 91; Abu Dawud, no. 4091; at Tirmidzi, no. 1999 dan al Baghawi, no. 3587 dari hadits Abdullah bin Mas’ud].

5. Menampakkan Syiar-Syiar Agama Islam
Di dalam Islam ada beberapa ibadah yang tidak mungkin disembunyikan dalam pelaksanaannya, seperti haji, umrah, shalat Jum’at, shalat berjama'ah yang lima waktu dan lainnya.

Seorang muslim tidak dikatakan berbuat riya', bila ia menampakkan amal-amal ini. Karena termasuk amal-amal yang wajib ditampakkan dan dimasyhurkan serta melaksanakannya adalah termasuk syiar-syiar Islam. Orang yang meninggalkannya akan terkena celaan dan kutukan. Akan tetapi, jika amal-amal ibadah sunnah, hendaknya disembunyikan, karena tidak tercela bagi orang yang meninggalkannya. Tetapi jika ia menampakkan amal itu dengan tujuan supaya orang lain mengikuti sunnah itu, maka hal itu adalah baik. Sesungguhnya yang dikatakan riya', yaitu apabila tujuannya menampakkan amal tersebut supaya dilihat, dipuji dan disanjung manusia.

Insya Allah bersambung ……

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Ar Riya' , hlm. 39-52.
[2]. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2896 dan lainnya tanpa menyebutkan lafazh ikhlas. Lihat Shahih at Targhib wat Tarhiib (I/105 no. 6). Hadits ini terdapat syahidnya dari Abu Darda’, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an Nasa-i (VI/45), Fathul Bari (VI/89).
[3]. Ar Riya', hlm. 53-59.

Sumber: Almanhaj.or.id

14 Mei 2012

Kajian Bersama Ustadz Ahmad Thonarih 17 Mei 2012 di Karawang

"Jangan kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar gunung uhud maka tidaklah menyamai 1 mud mereka atau setengahnya." (HR. Bukhari, no.3470 dan Muslim, no.2540)

InsyaAlloh kembali hadir kajian di Bulan Mei 2012

Bersama :

Al-Ustadz Ahmad Thonarih Al-Atsary

(Mudir Pondok Pesantren Minhajul Muslim Rangdu Pusakanagara Subang JABAR)

Tema:
"KEUTAMAAN PARA SAHABAT"
Membela kehormatan para sahabat

Hari / Tanggal:
Kamis, 17 Mei 2012
25 Jumadal Akhir 1433 H

Pukul : 09.00 - selesai

Tempat :
di Masjid Al Istiqomah
Perum Puri Kosambi 1, Duren Klari (arah ke Telagasari)
Karawang, Jawa Barat

Informasi :
0819-0667-0669
0818-1071-6180
Penyelenggara:
Majelis Ta'lim Ihyaussunnah
DKM Al-Istiqomah

GRATIS
Terbuka Untuk Umum
Muslimin dan Muslimat

webmoslem.blogspot.com

13 Mei 2012

Bahaya Sikap Menunda-nunda (Iya nanti sajalah)

Iya nanti sajalah”, demikian yang dikatakan dalam rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan padahal masih bisa dilakukan saat itu. Kebiasaan kita adalah demikian, karena rasa malas, menunda-nunda untuk belajar, menunda-nunda untuk muroja’ah (mengulang) hafalan qur’an, atau melakukan hal yang manfaat lainnya, padahal itu semua masih amat mungkin dilakukan.

Perlu diketahui saudaraku, perkataan “sawfa … sawfa”, “nanti sajalah” dalam rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”. Demikian kata sebagian ulama salaf.

Menunda-nunda kebaikan dan sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim bahwa itu adalah dasar dari kekayaan orang-orang yang bangkrut.

إن المنى رأس أموال المفاليس

“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut.”[1]

Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,

وَ لاَ تَرْجِ عَمَلَ اليَوْمِ إِلَى الغَدِ
لَعَلَّ غَدًا يَأْتِي وَ أَنْتَ فَقِيْدُ

Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok

Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan

Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).” [2]

Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dengan sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”[3]

Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang dikatakan adalah besok dan besok, nanti dan nanti sajalah.

Jika memang ada kesibukan lain dan itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk dengan kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu dan membuat urutan manakah yang prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang dan luang untuk menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian dan kerugian.

Lihatlah bagaimana kesibukan ulama silam akan waktu mereka. Sempat-sempatnya mereka masih sibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.

Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’  Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[4] Subhanallah … Lisan selalu terjaga dengan hal manfaat dari waktu ke waktu.

Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i –di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi-[5], “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”[6]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[7]

Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan hal yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari sikap menunda-nunda.

Wabillahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Riyadh-KSA, 26 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id




[1]Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 1/456, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat pula Ar Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah; Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/325, Muassasah Ar Risalah; ‘Iddatush Shobirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

[2] Dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Tholabil ‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul Qobis

[3] Idem

[4] Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah

[5] Ini menunjukkan bahwa tidak masalah mendapat nasehat dari orang yang berpahaman menyimpang (semacam sufi) selama si penyimak tahu bahwa hal itu benar.

[6] Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[7] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi

3 Mei 2012

Kajian Bersama Ustadz Abu Sa'ad MA Tanggal 6 Mei 2012 di Karawang

InsyaAlloh akan di selenggarakan Kajian Islam

Bersama :

Ustadz Abu Sa'ad MA

Tema:
“Membongkar Kesesatan Pemahaman Syiah”

Hari / Tanggal:
Ahad, 6 Mei 2012
Pukul : 09.00 - selesai

Tempat :
di Masjid Al Istiqomah
Perum Puri Kosambi 1, Duren Klari (arah ke Telagasari)
Karawang, Jawa Barat

Informasi :
081383780630,
085695460767

Penyelenggara:
Tim Kajian Ihyaussunnah
DKM Al-Istiqomah

Gratis
Untuk Umum
Muslimin dan Muslimat

webmoslem.blogspot.com

1 Mei 2012

Pentingnya Bahasa Arab


Imam Syafi'i berkata: "Manusia tidak menjadi bodoh dan selalu berselisih paham kecuali lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles". [2]

Itulah ungkapan Imam Syafi'i buat umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang imam menyaksikan kondisi umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatian beliau akan semakin memuncak.

Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang menjadi alat komunikasi di kalangan umat manusia. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Idealnya, umat Islam mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa ini. Baik dengan mempelajarinya untuk diri mereka sendiri ataupun memfasilitasi dan mengarahkan anak-anak untuk tujuan tersebut.

Di masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan bahkan para khalifah tidak melihatnya dengan sebelah mata. Fashahah (kebenaran dalam berbahasa) dan ketajaman lidah dalam berbahasa menjadi salah satu indikasi keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya saat masa kecil.

Redupnya pehatian terhadap bahasa Arab nampak ketika penyebaran Islam sudah memasuki negara-negara 'ajam (non Arab). Antar ras saling berinteraksi dan bersatu di bawah payung Islam. Kesalahan ejaan semakin dominan dalam perbincangan. Apalagi bila dicermati realita umat Islam sekarang pada umumnya, banyak yang menganaktirikan bahasa Arab. Yang cukup memprihatinkan ternyata, para orang tua kurang mendorong anak-anaknya agar dapat menekuni bahasa Arab.

KEISTIMEWAAN BAHASA ARAB

1. Bahasa Arab adalah bahasa Al Quran. Allah berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya.[3]

2. Bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dan bahasa verbal para sahabat. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita dengan berbahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab fikih, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi pintu gerbang dalam memahaminya.

3. Susunan kata bahasa Arab tidak banyak. Kebanyakan terdiri atas susunan tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya.

4. Indahnya kosa kata Arab. Orang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas dan padat.

PETUNJUK URGENSI BELAJAR BAHASA ARAB

1. Teguran Keras Terhadap Kekeliruan Dalam Berbahasa.

Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi tradisi generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak seirama dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Apalagi bila hal itu terjadi pada orang yang terpandang. Ibnul Anbari menyatakan: "Bagaimana mungkin perkataan yang keliru dianggap baik…? Bangsa Arab sangat menyukai orang yang berbahasa baik dan benar, memandang orang-orang yang keliru dengan sebelah mata dan menyingkirkan mereka”.

Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: "Alangkah buruk bidikan panah kalian". Mereka menjawab,

” قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ نَحْنُ 

(kami adalah para pemula), [4]”

maka Umar berkata, ”Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya didikan kalian… "[5]

2. Perhatian Salaf Terhadap Bahasa Arab.

Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: "Amma ba'du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab".

Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: "Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)".

Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: "Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta mendalami bahasa Arab".

Beliau juga mengatakan: "Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan". [6]

Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar dalam menekuninya, layaknya ilmu syar'i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan sarana untuk memahami ilmu syariat.

Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang terlewatkan olehku, kecuali aku memahami maknanya".

Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab.

Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau belajar kepada Ibnul Fathi Al Ba'li kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa`, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi.

Ulama lain yang terkenal memiliki perhatian yang besar terhadap bahasa Arab adalah Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu : Sayyid Isma'il bin Al Hasan, Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.

3. Anak-Anak Khalifah Juga Belajar Bahasa Arab.

Para khalifah, dahulu juga memberikan perhatian besar terhadap bahasa Arab. Selain mengajarkan pada anak-anak dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memberikan jadwal khusus untuk memperdalam bahasa Arab dan sastranya. Motivasi mereka, lantaran mengetahui nilai positif bahasa Arab terhadap gaya ucapan mereka, penanaman budi pekerti, perbaikan ungkapan dalam berbicara, modal dasar mempelajari Islam dari referensinya. Oleh karena itu, ulama bahasa Arab juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan dan dekat dengan para khalifah. Para pakar bahasa menjadi guru untuk anak-anak khalifah.

Al Ahmar An Nahwi berkata,”Aku diperintahkan Ar Rasyid untuk mengajarkan sastra Arab kepada anaknya, Muhammad Al Amin. Al Makmun dan Al Amin juga pernah dididik pakar bahasa yang bernama Abul Hasan 'Ali bin Hamzah Al Kisai yang menjadi orang dekat Khalifah. Demikian juga pakar bahasa lain yang dikenal dengan Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As Sari mengajari anak-anak Khalifah Al Mu'tadhid pelajaran bahasa Arab. Juga Abu Qadim Abu Ja'far Muhammad bin Qadim mengajari Al Mu'taz sebelum memegang tampuk pemerintahan”.

PENGARUH BAHASA ARAB UNTUK PENDIDIKAN
1. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan.
Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah berfirman.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. [Al 'Alaq : 1].

Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan.

Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham (manzhumah atau nazhaman). Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunannya, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik.

Sebagai contoh, kitab Asy Syathibiyah Fi Al Qiraati As Sab'i Al Mutawatirati 'Anil Aimmati Al Qurrai As Sab'ah, adalah matan syair yang berisi pelajaran qiraah sab'ah, karangan Imam Al Qasim bin Firah Asy Syathibi. Buku lain berbentuk untaian bait syair. Kemudian Al Jazariyah, yaitu buku tentang tajwid karya Imam Muhammad bin Muhammad Al Jazari. Dalam bidang ilmu musthalah hadits, ada kitab Manzhumah Al Baiquniyah, karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni. Dan masih banyak contoh lainnya.

2. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir.
Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata,”Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.”

Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasi. Dan ini salah satu factor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk merenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَآءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. [Al Hajj : 31].

Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka permisalan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan ramai-ramai menyambarnyanya sehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, mereka hancurkan. [7]

3. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak.
Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor.

Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi'in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”. [8]

Misalnya, penggalan syair yang dilantunkan Habib bin Aus yang menganjurkan berperangai dengan akhlak yang baik :

يـَعِيْشُ المْـَرْءُ مَا اسْتَحْيـَا بِخَيْرٍ وَيَبْـقَى العُودُ مَا بَقِيَ اللِّحَاءُ
فَلاَ وَاللهِ مَا فِي العَيْشِ خَيْـــرٌ وَلاَ الدُّنْيـَا إِذَا ذَهَبَ الْحَيَاءُ

Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama ia mempunyai rasa malu
Batang pohon senantiasa abadi, selama kulitnya belum terkelupas
Demi Allah, tidak ada sedikit pun kebaikan dalam kehidupan,
Demikian juga di dunia, bila rasa malu telah hilang sirna

Juga ada untaian syair yang melecut orang agar menjauhi tabiat buruk. Imam Syafi'i mengatakan:

إِذَا رَمَيْتَ أَنْ تَحْيَا سَلِيْمًا مِنَ الرَّدَى وَدِيْنُكَ مَوْفُوْرٌ وَعِرْضُـكَ صَيـِّنُ
فَلاَ يَنْطِقـَنَّ مِنْكَ اللِّساَنُ بِسَـوءَةٍ فَكُلُّــكَ سَوْءَاتٌ وَلِلنَّاسِ أَعْيـُنُ

Bila dirimu ingin hidup dengan bebas dari kebinasaan,
(juga) agamamu utuh dan kehormatanmu terpelihara,
Janganlah lidahmu mengungkit cacat orang,
Tubuhmu sarat dengan aib, dan orang (juga) memiliki lidah.

Jadi, bahasa Arab tetap penting, Bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Seyogyanya menjadi perhatian kaum muslimin. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari Al Atsaru At Tarbawiyah Li Dirasati Al Lughah Al ‘Arabiyyah, karya Dr. Khalid bin Hamid Al Hazimi, osen Fakultas Dakwah dan Ushuliddin Universitas Islam Madinah. Majalah Jami’ah Islamiyyah, edisi 125 Th 1424 H.
[2]. Siyaru A’lamin Nubala : 10/74.
[3]. QS Az Zukhruf : 3.
[4]. Seharusnya : نَحْنُ قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ
[5. Al Malahin, karya Ibnu Duraid Al Azdi, hlm. 72.
[6]. Tarikh Umar bin Khaththab, karya Ibnul Jauzi, 225.
[7]. Tafsir As Sa’di.
[8]. Iqtidha Shiratil Mustaqim, hlm. 204

Sumber: almanhaj.or.id

26 Apr 2012

Hukum Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis

Penulis: Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin

Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain :

1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
2. Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HSR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).

Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh / berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.

3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HSR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.

Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”.

4. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata :
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan“.

Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh / berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

Hukum Berjabat Tangan Dengan Wanita

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum berjabat tangan dengan wanita?

Jawaban
Hukum berjabat tangan dengan wanita ada perinciannya ; apabila wanita tersebut termasuk mahram orang yang berjabat tangan seperti ibunya, putrinya, saudarinya, saudari ibunya, saudari bapaknya dan istrinya, maka diperbolehkan untuk berjabat tangan dengannya. Apabila selain mahram maka tidak diperbolehkan ; karena ada seorang wanita yang mengulurkan tangannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjabat tangannya, maka beliau bersabda :

إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata : “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah memegang tangan perempuan (yang bukan mahramnya) sama sekali, mereka hanya membaiatnya dengan ucapan”

Oleh karenanya wanita tidak diperkenankan untuk menjabat tangan laki-laki selain mahramnya dan tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menjabat tangan wanita selain mahramnya berdasarkan dua hadits tersebut diatas, dan karena hal tersebut memungkinkan terjadinya fitnah.

[Majmu Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi;ah, Syaikh Bin Baz, 6/22]


HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN WANITA TUA DAN APABILA MEMAKAI SARUNG TANGAN PENGHALANG


Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum berjabat tangan dengan wanita selain mahram apabila ia sudah tua, dan apa hukum berjabat tangan dengan wanita selain mahram apabila ia memakai penghalang dari kain, sarung tangan atau lainnya?

Jawaban
Tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan wanita selain mahram secara umum, baik ia adalah seorang wanita muda atau wanita tua, dan yang menjabat tangan seorang laki-laki muda ataukah sudah tua, karena di dalamnya ada bahaya fitnah bagi masing-masing pihak.

Telah diriwayatkan dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.


إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita”

Aisyah berkata : “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah memegang tangan perempuan (bukan mahramnya) sama sekali, karena hanya membai'atnya dengan perkataan”.

Tidak ada bedanya antara berjabat tangan dengan alat penghalang (sapu tangan) ataupun dengan tanpa penghalang berdasarkan keumuman dalil serta menutup jalan yang mendatangkan fitnah.

[Majallatul Buhuts Al-Islamiyah, 38/131]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 3, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Lc, Penerbit Darul Haq - Jakarta, Cetakan Desember 2001]


BOLEHKAH SEORANG LAKI-LAKI MENYENTUH BAGIAN DARI ANGGOTA BADAN WANITA YAN BUKAN MAHRAMNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah boleh seorang laki-laki menyentuh bagian dari anggota badan wanita yang bukan mahram.

Jawaban
Sebagian perempuan tidak dapat menahan diri untuk memperlihatkan tangan mereka di hadapan para tukang perhiasan yang lemah iman hanya untuk mengukur gelang, cincin atau untuk melepaskan perhiasan dari tangan mereka, atau minta bantuannya dalam memakaikannya atau melepaskannya. Ini adalah perbuatan yang diharamkan, karena seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menyentuh sebagian dari anggota badan wanita selain mahramnya. Wanita yang melakukan perbuatan ini berarti telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasulnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua orang –wanita dan laki-laki yang menyentuhnya- harus bertaubat.

Telah diriwayatkan dalam hadits dari Ma’qal bin Yasar Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لأَنْ يُطْعَنَ فِيرَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمُخيطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرُلَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.

Hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menyentuh wanita selain mahramnya dan wanita tersebut turut berdosa apabila memberikan tanggapan timbal balik. Bersentuhan antara anggota badan dengan badan itu lebih kuat dalam menggelorakan insting dan membangkitkan syahwat daripada sekedar pandangan mata. Diharamkannya menyentuh wanita adalah salah satu upaya Islam untuk mencegah manusia terperosok dalam kemaksiatan perzinahan yang merusak pribadi dan masyarakat, menghancurkan kehormatan dan kesucian serta menyebabkan kehancuran.

[Zinatul Mar’ah, Abdullah Al-Fauzan, hal.52]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 3, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Lc, Penerbit Darul Haq - Jakarta, Cetakan Desember 2001]

Sumber:
http://akhwat.web.id/
http://almanhaj.or.id/ dan http://almanhaj.or.id/

Dikumpulkan oleh http://webmoslem.blogspot.com

20 Apr 2012

Tabligh Akbar Bersama Ustadz Ja'far Sholeh Tanggal 22 April 2012 di Karawang


InsyaAlloh akan di selenggarakan Tabligh Akbar

Bersama :

Ustadz Ja’far Sholeh

(Murid Syaikh Muqbil Al-Wadi’i – Darul Hadist – Yaman)

Tema:
“KEDUDUKAN AS SUNNAH DI DALAM ISLAM”

Hari / Tanggal:
Ahad, 30 Jumadhil Ula 1433 H
22 April 2012
Pukul : 09.00- selesai

Tempat :
Masjid Jami' Al Kautsar
Dusun Sukamukti RT.12 / RW.07
Teluk Jambe Timur, Karawang, Jawa Barat

CP :
Abu Farros : 0812-8233-4919
Abu Jilaan : 0819-0667-3783
Abu Unaisah : 0815-1342-5439

Gratis
Untuk Umum
Muslimin dan Muslimat

re-publish: webmoslem.blogspot.com

17 Apr 2012

Salafiyah Bukanlah Organisasi (Bantahan terhadap Ormas An-Najat & Wahdah Islamiyah)

Oleh : Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

Banyak orang yang mengira apabila mereka mendengar kata Salafiyah atau Salafiyyin bahwa itu adalah sebuah organisasi atau hizb (partai). Apakah benar demikian? Sama sekali tidak. Bahkan bayangan itu tidak ada sama sekali pada pikiran pembawa-pembawnya dan dai-dainya.

As-Salafiyah sebenarnya Islam itu sendiri, yang benar dan mencakup seluruh apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya Muhammmad shallallahualai wa sallam. Salafiyah bukanlah nama untuk suatu kelompok tertentu karena penisbatannya adalah kepada generasi salaf yang telah dipuji baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. bahkan setiap orang yang memahami Dien sesuai dengan apa yang dipahamai generasi salafus shalih (yang terdahulu) dari umat in, maka dia disebut Salafy. Tidak peduli apakah dia menyebutnya terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi.

Jadi Salafiyah tidak dimiliki oleh suatu hizb(partai) dan tidak pula nama suatu organisasi atau harakah (gerakan dakwah ) tertentu. Ia mencakup seluruh kaum muslimin baik sendiri maupun berkelompok (tentunya yang bermanhaj salaf) karena dakwah Salafiyah adalah dakwah Isalam itu sendiri yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih radhiallahuanhum. Oleh sebab itu, wajib bagi umat setelah melihat realita ini menyesuaikan pemikiran, amalan dan pandangannya dengan manhaj Salaf dalam menjalankan Dien yang mulia ini.

Penyebutan Salafiyah dan keyakinan penisbatannya kepada salafus shalih berguna untuk menutup jalan bagi orang-orang yang menginginkan dalam penerapan dakwah dan gerakan mereka kebebasan berijtihad dalam pemikiran Islam tanpa adanya batasan-batasan dan kaidah-kaidah, kecuali (tentu saja) hasil-hasil pandangan dan pikiran mereka sendiri (Saya penulis artikel ini -telah membahasnya secara rinci dalam kirab Al-Aqlaniyyun). Padahal pikiran-pikiran mereka sudah terbelenggu dengan pemikiran barat sehingga hasilnya nash-nash (baik Al-Quran dan maupun As-Sunnah) harus tunduk mengikuti mereka.

Lantas, bagaimana jika ada orang yang berkata bahwa penamaan ini bisa membuka kepada pintu hizbiyyah yang taashub (pengelompokan yang fanatik)? Jawabanya tentu saja tidak. Alasannya ada 2 hal:

1. Karena salafiyyah bernasab kepada sesuatu hal yang mulia, yaitu kepada orang-orang yang dimuliakan karena pemahaman dan pandangan mereka yang lurus. Salafiyyah tiadak mengacu pada suatu nama kelompok tertentu yang bersifat hizbiyyah atau memiliki pandangan-pandangan hizbiyyah.

2.Pembedaan orang-orang yang ada di atas kebenaran (ahlul haq) dengan kebenaran(al-haq/manhaj salaf) yang mereka pegang tidaklah menjadikan mereka ikut bersama orang-orang yang menyeleweng dari manhaj yang benar, atau menyerupai mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus.

Bukanlah suatu kekurangan ( hal yang buruk ) apabila orang menasabkan dirinya dengan salaf lewat ucapan, ciri-ciri, manhaj dan amal-amalnya di tengah maraknya fitnah (bencana), yaitu bermunculannya banyak orang yang mengaku berada di atas al-haq dan juga dai-dai yang mengaku dirinya menyampaikan al-haq. Orang-orang yang mengukuti manhaj yang haq(menyesuaikan dengan haq dan tidak menyelisihinya) harus dibedakan agar hancur rujukan orang-orang yang memalsu kebenaran. Ilmu orang yang berpegang dengan manhaj ini sesuai dengan khabar atau riwayat (hadist shahih) sehingga pada akhirnya merekalah para dai yang menegakkan al-haq.

Pendapat ini juga ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-semoga Allah merahmati beliau-. Beliau berkata:

Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatkan dan menasabkan kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada madzhab salaf kecuali kebenaran (Majmu Fatawa Jilid 4 hal 129)

Dengan demikian penyebaran cahaya manhaj ini dan syiarnya pada seluruh umat manusia sangat didambakan oleh jiwa, hati, dan pikiran ini, dan (tentunya hanya) orang -orang yang ikhlas yang akan berusaha mewujudkanya.

Apabila ini terjadi (dengan pertolongan Allah walaupun dalam waktu yang sangat lama)-yaitu meratanya al-haq dan hilangnya suara-suara yang menyelisihi manhaj ini, serta umat benar-benar dalam suasana Islam yang benar, bersih dari bidah dan hawa nafsu sebagaimana generasi awal dari salafus shalih- tentu akan hilang pembedaan nama ini, karena tidak ada yang melawannya( menentangnya) ( Hukum Intima hal 32 oleh Fadhilatus Syaikh Bakar Abu Zaid)

Oleh karena sebab itu para dai yang berada di atas manhaj ini, hendaklah bergembira dangan yang ditinggikan mereka dari seluruh organisasi hizb yang ada. Juga hendaknya mereka merasa nikmat dengan kesempurnaan dakwah mereka yang meliputi pemilik fitrah yang bersih dari kaum muslimin, yang belum diwarnai kejelekan. Disamping itu mereka harusnya berbahagia menjadi orang yang fanatik(terhadap manhaj ini) dan menjadikannya sebagai barometer kehidupan, karena tidak ada sesuatupun yang bisa menyaingi dan mengunggulinya.

Semoga Allah menunjukan kita kepada jalan-Nya yang lurus.
(Al-Asholah 2/ Fathu Rahman Abu Zaki),

Sumber: ibnuramadan.wordpress.com

11 Apr 2012

Nama Yang Terlarang untuk Anak

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai karunia dan nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.

Setelah pada posting sebelumnya kami mengangkat pembahasan “Nama Terbaik untuk Si Buah Hati”, saat ini kita akan membahas beberapa nama yang terlarang yang harusnya dihindari atau jika sudah terlanjur seharusnya diganti dengan nama yang lebih baik. Simak pembahasan berikut ini, semoga bermanfaat.

Nama-nama yang Diharamkan


Pertama: Setiap nama yang terdapat bentuk penghambaan kepada selain Allah.
Yaitu menggunakan kata ‘Abdul tetapi disandarkan bukan pada nama Allah, namun pada selain Allah. Ini adalah nama yang diharamkan. Seperti: ‘Abdur Rasul (hamba Rasul), ‘Abdu ‘Ali (hamba ‘Ali), ‘Abdul Hasan (hamba Hasan), ‘Abdul Husain (hamba Husain), ‘Abdul Harits (hamba Harits), ‘Abdul ‘Uzza (hamba ‘Uzza), ‘Abdul Masih (hambanya Isa Al Masih), ‘Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah).[1]

Juga ada nama-nama penghambaan (memakai Abdul) yang dinilai keliru karena disandarkan bukan pada nama Allah seperti ‘Abdul Maqshud, ‘Abdus Sataar, ‘Abdul Mawjud, ‘Abdul Mursil, ‘Abdul Ma’bud, ‘Abdul Wahid, ‘Abduth Tholib. Nama-nama ini adalah nama-nama yang keliru ditinjau dari dua sisi:
  1. Nama-nama yang disandarkan tersebut bukanlah nama Allah karena nama Allah itu tauqifiyah (butuh dalil).
  2. Ini adalah penghambaan kepada sesuatu yang Allah tidak menamakan diri-Nya dengan nama tersebut, begitu pula dengan Rasul-Nya.[2]
Kedua: Nama yang khusus untuk nama Allah.
Nama ini hanya khusus untuk Allah Ta’ala, tidak boleh digunakan oleh makhluk. Seperti: Al Kholiq (Sang Pencipta), Ar Rahman (Maha Penyayang), Al Ahad (Maha Esa), Ash Shomad (Bersandarnya seluruh makhluk pada-Nya), Ar Roziq (Maha Pemberi Rizki).

Ketiga: Nama dari barat yang merupakan nama khusus untuk orang kafir.
Contoh nama tersebut: Imanuel, George, Robert, Susan, Alberto, Diana, Susan. Nama-nama seperti ini haram digunakan dan sudah seharusnya untuk diganti dengan nama yang Islami.
Bagaimana mau membedakan muslim dan kafir, jika seorang anak diberi nama dengan nama yang jelas-jelas itu nama orang kafir?

Keempat: Nama yang merupakan nama berhala yang disembah selain Allah.
Seperti: Laata dan ‘Uzza

Kelima: Nama yang bukan menunjukkan yang dinamai, mengandung penyucian diri bahkan kedustaan.
Telah terdapat dalam hadits yang shahih,

إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ

Sesungguhnya nama yang paling jelek di sisi Allah Ta'ala ialah nama "Malikul Amlak" (Maha Raja Diraja)”. (HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143)


Nama yang diqiyaskan (dianalogikan) dengan  Malikul Amlak adalah Sulthon As Salaathin (Sultan dari segala sultan), Hakimul Haakim (Hakim dari para hakim), Qodhi Al Qudhot (Qodhi dari para Qodhi). Nama-nama ini adalah nama yang haram karena mengandung penyucian diri dan kedustaan.

Yang semisal itu dan diharamkan adalah sayyidunnaas (penghulu para manusia), sayyidul kulli (penghulu seluruh manusia). Sedangkan “Sayyid Waladi Adam” diharamkan untuk digunakan kecuali pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha dia berkata, "Aku menamai anak perempuanku 'Barrah' (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ

Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta'ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.” Para sahabat bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)
Keenam: Nama yang merupakan nama-nama setan . Seperti: Khinzab, A’war, Walhan, Ajda’.

Nama-Nama yang Dimakruhkan (Tidak Disukai)


Pertama: Memberi nama dengan nama-nama yang arti dan lafazhnya tidak disukai oleh jiwa, lebih-lebih menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbagus nama.
Contoh dari nama semacam ini adalah Huyam dan Suham (jenis penyakit pada unta).

Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat.”[3]

Kedua: Memberi nama dengan nama-nama yang menimbulkan syahwat. Seperti: Fatin (wanita penggoda), Syadi atau Syadiyah (biduanita).

Ketiga: Memberi nama dengan nama orang fasiq (yang gemar maksiat). Seperti: Madona, Britney.

Keempat: Memberi nama yang menunjukkan dosa dan maksiat. Seperti: Zhalim.

Kelima: Memberi nama dengan nama-nama orang yang terkenal sombong. Seperti: Fir’aun, Haamaan, Qorun.
Keenam: Memberi nama dengan nama yang tidak memotivasi diri. Seperti: Hazn (sedih), Zahm (sempit).

Ketujuh: Memberi nama dengan nama-nama hewan. Seperti: Himar (keledai), Kalb atau Kulaib (anjing), Bagong.

Kedelapan: Memberi nama dengan nama yang disandarkan pada lafazh “ad diin” dan “al islam”.
Seperti: Muhyiddin (yang menghidupkan agama), Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (cahaya agama), Syamsuddin (cahaya agama), Qomaruddin (cahaya agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam).

Penamaan seperti di atas terlarang karena kebesaran kedua lafazh Islam dan Diin. Oleh karena itu mengaitkan nama tersebut pada Islam dan Diin adalah suatu kebohongan. Ambil misal orang yang namanya Muhyiddin, artinya orang yang menghidupkan agama. Pertanyaannya, kapan orang tersebut menghidupkan agama?

An Nawawi rahimahullah tidak suka dipanggil dengan Muhyiddin. Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak suka dipanggil Taqiyuddin (penjaga agama). Beliau berkata, “Keluargaku sudah sering memanggilku seperti itu dan akhirnya panggilan seperti itu tersebar luas.”[4]

Kesembilan: Menggunakan nama yang bersusun (terdiri lebih dari dua kata atau lebih), sehingga menimbulkan kerancuan apakah yang dinamai tersebut satu atau beberapa orang.
Seperti: Muhammad Firdaus, Muhammad Ahmad, Muhammad Haris. Nanti akan dikira bahwa nama-nama ini terdiri dari dua orang, ada Muhammad sendiri, ada Firdaus sendiri. Apalagi jika nama tersebut terdiri dari tiga kata atau bahkan sampai tujuh kata?!

Kesepuluh: Sebagian ulama tidak menyukai memberi nama dengan nama para Malaikat yang khusus bagi mereka. Seperti: Jibril, Mikail, Isrofil. Kecuali Malik, nama ini bersekutu antara manusia dan malaikat, dan ada sebagian sahabat yang menggunakan nama Malik.[5]

Sedangkan menamai anak perempuan dengan nama malaikat, ini jelas haram karena ini sama halnya kelakukan orang musyrik yang menjadikan malaikat sebagai anak perempuan Allah.[6]

Kesebelas: Sebagian ulama (di antaranya Imam Malik) tidak menyukai memberi nama dengan nama-nama surat dalam Al Quran, seperti: Yasin, dan Thoha.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

وأما يذكره العوام أن يس وطه من أسماء النبي فغير صحيح ليس ذلك في حديث صحيح ولا حسن ولا مرسل ولا أثر عن صاحب وإنما هذه الحروف مثل الم وحم والر ونحوها

“Adapun yang biasa disebut oleh orang awam bahwa “Yasin” dan “Thoha” adalah di antara nama-nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu tidaklah benar. Tidak ada satu pun hadits shahih, hadits hasan, hadits mursal atau pun atsar sahabat yang menyatakan demikian. Yasin dan Thoha hanyalah huruf biasa sebagaimana alif laam miim, haamiim, alif laam roo dan semacamnya.”[7]


Mengganti Nama


Jika memang nama tersebut adalah di antara nama yang haram dan tidak disukai, maka hendaknya diganti dengan nama yang baik sesuai syari’at yang sudah kami terangkan dalam tulisan sebelumnya. Dalil mengenai hal ini adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengganti nama beberapa sahabat. Perhatikan dalil-dalil berikut ini.

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُغَيِّرُ الاِسْمَ الْقَبِيحَ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti (merubah) nama yang jelek.” (HR. Tirmidzi no. 2839. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- غَيَّرَ اسْمَ عَاصِيَةَ وَقَالَ « أَنْتِ جَمِيلَةُ »

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengganti nama 'Ashiyah (artinya: wanita yang suka bermaksiat) seraya berkata; "Nama kamu adalah Jamilah (artinya: wanita yang cantik)." (HR. Muslim no. 2139)


Dari Usamah bin Akhdari, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً يُقَالُ لَهُ أَصْرَمُ كَانَ فِى النَّفَرِ الَّذِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا اسْمُكَ ». قَالَ أَنَا أَصْرَمُ. قَالَ « بَلْ أَنْتَ زُرْعَةُ ».

“Ada seseorang bernama Ashrom, ia bersama sekelompok orang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Ashrom”. Beliau bersabda, “Sekarang namamu berganti menjadi Zur’ah.” (HR. Abu Daud no. 4954. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ashrom artinya terpotong, sedangkan Zur’ah artinya tumbuh.


Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada kami Hisyam bahwa Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada orang-orang, katanya; telah mengabarkan kepadaku Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah dia berkata; saya duduk di hadapan Sa'id bin Musayyib maka dia menceritakan kepadaku, bahwa kakeknya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan sedih, lalu beliau bertanya; "Siapakah namamu?" Dia menjawab; "Namaku Hazn, " Beliau bersabda,

بَلْ أَنْتَ سَهْلٌ

Sekarang namamu adalah Sahl." Namun dia berkata; "Tidak, aku tidak akan merubah nama yang pernah di berikan oleh ayahku." Ibnu Musayyib berkata, "Sesudah itu keluarga terus menerus dalam keadaan khuzunah." (HR. Bukhari no. 6193). Ibnu Tiin mengatakan bahwa khuzunah adalah kerasnya akhlaq. Ahli nasab menyebutkan bahwa keturunan Hazn ini terkenal dengan akhlaknya yang keras.[8]
Ibnu Baththol mengatakan,

أَنَّ الْأَمْر بِتَحْسِينِ الْأَسْمَاء وَبِتَغْيِيرِ الِاسْم إِلَى أَحْسَن مِنْهُ لَيْسَ عَلَى الْوُجُوب

Perintah untuk memperbagus nama dan merubah nama menjadi yang lebih baik bukanlah suatu yang wajib.”[9] Namun merubahnya adalah sesuatu yang lebih afdhol (lebih baik), apalagi jika nama tersebut jelas-jelas nama yang haram untuk digunakan.[10]


Demikian pembahasan kami mengenai nama untuk si buah hati. Semoga bermanfaat bagi setiap orang yang ingin menyambut buah hatinya.

Baca pula artikel "Nama Terbaik untuk Si Buah Hati" di sini.

Panggang-GK, 27 Jumadil Awwal 1431 H (11/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: www.rumaysho.com


[1] Lihat pembahasan di Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/378.
[2] Lihat Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 46.
[3] Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Ma’rifah, 1379.
[4] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 54-55.
[5] Lihat Al Ishobaah fi Tamyiz Ash Shohabah, 3/338-359. Dinukil dari “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti”, Ustadz Abdul Hakim bin Amr Abdat, hal. 169, Darul Qolam.
[6] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 57.
[7] Tuhfatul Mawdud, Ibnul Qayyim, hal. 127, Maktabah Darul Bayan.
[8] Lihat Fathul Baari, 10/575.
[9] Idem.
[10] Pembahasan ini adalah faedah dari tulisan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Tasmiyatul Mawlud

Re-publish: www.webmoslem.blogspot.com