30 Mar 2012

Tabligh Akbar Pendidikan Anak Tanggal 1 April 2012 di Karawang

Hadirilah Tabligh Akbar
Bersama

Ustadz DR. Erwandi Tarmizi, Lc, MA, hafidzhahullahu

Tema               :

PENDIDIKAN ANAK SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER YANG ISLAMI

Hari / Tanggal:
Ahad, 01 April 2012
Waktu:
Jam 09.00 pagi sd menjelang Sholat Dzuhur
Tempat:
Masjid Raya Perum Peruri, Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat

Penyelenggara :
SDI Al-Imam An-Nawawi
Tim Kajian Ilmiah Karyawan Muslim Karawang (TKI-KMK)
DKM Masjid Raya Perum Peruri

Gratis
Untuk Umum
Muslimin dan Muslimat

Informasi:
Abu Rifqi 082113837634, 085311642566
Abu Nuha 085695460767

3 Mar 2012

Hukum Memberi Salam Kepada Orang Yang Sedang Shalat

Bagaimana Hukum Memberi Salam Kepada Orang Yang Sedang Shalat dan Bagaimana Menjawabnya?

Oleh
Abul Barra’ Muhammad Mahir Al Khatib

Mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat, disyari’atkan ataukah tidak? Telah terjadi perdebatan yang sangat alot dalam masalah ini, sehingga mengakibatkan banyak orang yang bingung. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah disunnahkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat. Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu ,

أَنَّهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَنِي لِحَاجَةٍ ثُمَّ أَدْرَكْتُهُ وَهُوَ يَسِيرُ قَالَ قُتَيْبَةُ يُصَلِّي فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَأَشَارَ إِلَيَّ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَانِي فَقَالَ إِنَّكَ سَلَّمْتَ آنِفًا وَأَنَا أُصَلِّي وَهُوَ مُوَجِّهٌ حِينَئِذٍ قِبَلَ الْمَشْرِقِ

(Jabir) berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku untuk satu keperluan, kemudian aku mendapatkan beliau sedang berjalan (Quthaibah berkata, “Sedang shalat”), lalu aku ucapkan salam kepadanya. Beliau memberikan isyarat kepadaku. Ketika selesai shalat, beliau memanggilku sambil bersabda,”Engkau tadi mengucapkan salam, sementara aku sedang shalat.” Ketika itu beliau shalat menghadap ke timur (Baitul Maqdis). [HR. Muslim]

Dalam hadits yang lain.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ فَكَلَّمْتُهُ فَقَالَ لِي بِيَدِهِ هَكَذَا ثُمَّ كَلَّمْتُهُ فَقَالَ لِي هَكَذَا وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ لَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أُكَلِّمَكَ إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Bani Musthaliq. Lalu (Setelah selesai tugas-pent) aku menemui beliau. Sedangkan beliau sedang melaksanakan shalat di atas untanya, lalu kuajak beliau berbicara. Beliau memberikan isyarat dengan tangannya. Kemudian aku katakan lagi kepada beliau. Beliau memberikan isyarat lagi dengan kepalanya, sementara aku masih bisa mendengar bacaan beliau.” Ketika selesai melaksanakan shalat, beliau berkata,“Apa yang telah engkau lakukan dengan tugasmu? Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk beirbicara denganmu, kecuali shalatku. [HR Muslim).

عَنْ صُهَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ مَرَرْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ إِشَارَةً قَالَ وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ إِشَارَةً بِأُصْبُعِهِ

Dari Shuhaib, dia berkata,“Saya lewat dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat, lalu saya ucapkan salam kepada beliau. Beliau menjawab salam dengan isyarat.” (Shuhaib) berkata, “Saya tidak mengetahui beliau, kecuali (katanya) berisyarat dengan jarinya.” [HR Abu Daud 925 dan yang lainnya]

سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قُبَاءَ يُصَلِّي فِيهِ قَالَ فَجَاءَتْهُ الْأَنْصَارُ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ يَقُولُ هَكَذَا وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ

Aku (Nafi’) telah mendengar Abdullah bin Umar berkata,“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju Quba’ lalu shalat disana.” Abdullah berkata,“Lalu datanglah sekelompok orang-orang Anshar dan mengucapkan salam kepadanya, padahal beliau sedang melaksanakan shalat.” Abdullah berkata,”Aku bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimanakah engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka mengucapkan salam, padahal beliau sedang melaksanakan shalat’, Abdullah berkata, “Bilal menjawab, seperti ini!’ –beliau lalu membuka telapak tangannya- Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya dan menjadikan perut telapak tangan di bawah, sedangkan punggung telapak tangan di atas. [HR Abu Daud 927]

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُصَلِّي فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ الرَّجُلُ كَلَامًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَقَالَ لَهُ إِذَا سُلِّمَ عَلَى أَحَدِكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلَا يَتَكَلَّمْ وَلْيُشِرْ بِيَدِهِ

Diriwayatkan dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar melewati seseorang yang sedang shalat. Lalu ia mengucapkan salam kepada orang tersebut. Orang itu menjawabnya dengan ucapan. Maka Abdullah bin Umar kembali kepada orang tersebut dan berkata,“Jika ada salah seorang diantara kalian diberi salam, padahal dalam keadaan sholat, maka janganlah berbicara. Ddan hendaklah memberikan isyarat dengan tangannya. [HR Imam Malik dalam Muwattha’]

Ibnu Hajar berkata,“Sesungguhnya banyak hadits yang bagus telah menjelaskan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam dengan isyarat ketika beliau sedang shalat. Diantaranya hadits Abu Sa’id.

أَنَّ رَجُلاً سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَرَدَّ عَلَيْهِ إِشَارَةً

(Sesungguhnya ada seorang lelaki mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal beliau sedang shalat. Maka Rasulullah menjawabnya dengan isyarat). Ada juga hadits Ibnu Mas’ud yang semisal dengannya.”

Ibnu Hajar juga berkata,“Larangan salam (mengucapkan dan menjawab-pent) dengan isyarat dikhususkan bagi orang yang mampu mengucapkan salam dengan lafadz, baik secara fisik ataupun syar’i. Jika tidak, maka menjawab salam dengan isyarat disyari’atkan bagi orang-orang yang sedang melakukan pekerjaan yang menghalanginya dari menjawab salam dengan lafadz, misalnya orang yang sedang shalat …” [Fathul Bari 11/14,19]

Imam As Syaukani berkata,“Tentang isyarat untuk menjawab salam, telah dijelaskan oleh hadits Abdullah bin Umar dari Suhaib, dia berkata,’Saya tidak mengetahuinya, kecuali beliau hanya berisyarat dengan jarinya,’ dan hadits Bilal, dia berkata,’Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya.’ Keduanya tidaklah bertentangan. Maka, diperbolehkan sesekali berisyarat dengan jari, kemudian pada waktu lainnya dengan menggunakan tangan. Mungkin juga yang dimaksudkan dengan kata ‘tangan’ adalah jari. (Dengan kaidah) membawa yang mutlaq kepada yang muqayyad. Dalam hadits Ibnu Umar dalam Sunan Abu Daud, bahwasanya ia (Ibnu Umar) bertanya kepada Bilal,

كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ يَقُولُ هَكَذَا وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ

Aku (Nafi’) telah mendengar Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju Quba’ lalu shalat di sana.” Abdullah berkata,“Lalu datanglah sekelompok orang-orang Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau. Padahal beliau sedang melaksanakan shalat.” Abdullah berkata,”Aku bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimanakah engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka mengucapkan salam, padahal beliau sedang melaksanakan shalat?’, Abdullah berkata,”Bilal menjawab, ‘Seperti ini!’ –beliau lalu membuka telapak tangannya- Ja’far bin ‘Aun (Hadits ini diriwayatkan dari Ja’far Bin Aun dari Hisyam bin Sa’ad dari Nafi’) membuka telapak tangannya dan menjadikan perut telapak tangannya di bawah, sedangkan punggung telapak tangannya di atas. [HR Abu Daud 927]

Dalam hadits ini terdapat pelajaran, yaitu berisyarat dengan telapak tangan. Sedangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu yang di riwayatkan Imam Al Baihaqi dengan lafadz, فَأَوْمَأَ بِرَأْسِهِ (Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya). Dalam riwayat yang lain, فَقَالَ بِرَأْسِهِ (Maka beliau menjawab dengan kepala).

Bila riwayat-riwayat ini dikorelasikan, bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang melakukan ini dan terkadang dengan itu. Maka, semuanya boleh dilakukan. [Nailul Authar 2/378]

Tentang Hadits Ibnu Umar Imam Ash Shan’ani berkata, “Hadits ini menjadi dalil, bahwa seseorang yang mengucapkan salam kepada orang lain yang sedang shalat, maka cara menjawabnya dengan isyarat, dan bukan dengan ucapan. [Subulus Salam 1/264]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang medatangi suatu kaum yang sedang shalat, apakah ia mengucapkan salam? Beliau menjawab,“Ya.”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa Imam Ahmad mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat. [Al Mughni 1/712]

Imam Nawawi berkata,“Dalam hadits-hadits ini (hadits-hadits menjawab salam dengan isyarat bagi orang yang sedang sholat-pent) terdapat beberapa faidah. Diantaranya.

1. Haramnya berbicara ketika shalat, baik untuk kemaslahatan shalat maupun bukan.
2. Haramnya menjawab salam dengan ucapan ketika sedang mengerjakan shalat.
3. Isyarat tersebut tidak merusak shalat, bahkan disunnahkan menjawab salam dengan isyarat. [Syarh Muslim 5/27]

Ibnul Qayim berkata, “…Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menjawab salam dengan tangan, kepala. Dan tidak pula dengan jari, kecuali ketika dalam shalat. Beliau menjawab salam dengan isyarat kepada orang yang menyalaminya. Hal tersebut telah diriwayatkan dari beliau dalam beberapa hadits. Belum pernah ada sesuatupun yang bertentangan dengannya, kecuali sesuatu itu bathil tidak benar berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam …” [Zaadul Ma’ad]

Kelompok yang melarang menjawab salam dengan isyarat berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu. Terdapat dalam Shahihain dan yang lainnya. Dalam hadits tersebut terdapat kalimat, فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا (Beliau tidak menjawab salam kami).

Imam Asy Syaukani berkata, “Akan tetapi jawaban salam yang dinafikan (ditiadakan) dalam hadits ini seharusnya dibawa (pengertiannya-pent) ke jawaban salam dengan ucapan, bukan ke jawaban salam dengan isyarat. Karena Ibnu Mas’ud sendiri juga meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwasannya beliau menjawab salam dengan isyarat. Kalaupun seandainya riwayat-riwayat ini tidak dibawakan oleh Ibnu Mas’ud, maka tetap saja menjawab salam dengan isyarat merupakan keharusan untuk mempertemukan pengertian beberapa hadits. [Nailul Authar 2/377]

Pendapat yang diambil oleh Imam As-Syaukani merupakan pendapat yang benar. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya dari kakeknya.

أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَيَرُدُّ السَّلاَمَ ثُمَّ إِنَّهُ سَلَّمَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ فَظَنَّ عَبْدُ اللهِ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مُوْجِدَةٍ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كُنْتُ أُسَلِّمُ عَلَيْكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي فَتَرُدُّ عَلَيَّ, فَسَلَّمْتُ عَلَيْكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي فَلَمْ تَرُدَّ عَلَيَّ فَظَنَنْتُ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مُوْجِدَةٍ عَلَيَّ فَقَالَ لاَ لَكِنَّا نُهِيْنَا عَنِ الْكَلاَمِ فِي الصَّلاَةِ إِلاَّ الْقُرْآنَ وَالذِّكْرَ

Bahwasanya ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam. Kemudian (pada kesempatan yang lain-pent) ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat, namun beliau tidak menjawab salamnya. Abdullah menyangka, bahwa Rasulullah kecewa kepadanya. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, ia berkata,“Wahai Rasulullah, saya pernah mengucapkan salam kepadamu, sedangkan anda dalam keadaan shalat, lalu anda menjawab salam saya. Kemudian saya mengucapkan salam kepadamu, sedangkan anda dalam keadaan shalat, namun anda tidak menjawab. Saya menyangka, bahwa hal itu karena kekecewaan kepada saya.” Beliau menjawab,“Tidak, akan tetapi kita dilarang untuk berbicara ketika shalat kecuali (membaca-pent) Al Qur’an dan dzikr. [At Thabrani dalam kitab Al Kabir 10/10129, perhatikan pula Silsilah As Shahihah no. 2380]

Diceritakan dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ada seorang laki-laki yang mengucapkan salam kepada Rasulullah ketika sedang shalat. Maka beliau menjawab dengan isyarat. Ketika selesai shalat, beliau bersabda kepada laki-laki tadi.

إِنَّا كُنَّا نَرُدُّ السَّلاَمَ فِي صَلاَتِنَا فَنُهِيْنَا عَنْ ذَلِكَ

Sesungguhnya kami dulu menjawab salam dalam shalat, lalu hal tersebut dilarang. [At Thahawi dalam kitab Syarhil Ma’ani 1/454]

Syeikh Al Albani rahimahullah berkata : Laki-laki yang mengucapkan salam kepada Rasulullah n tersebut ialah Abdullah bin Mas’ud, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,“Saya lewat di dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat. Saya mengucapkan salam kepadanya. Maka beliau menjawab dengan isyarat.” Peristiwa itu terjadi ketika Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu datang dari tempat hijrahnya di Habasyah.

Hadits ini memang shahih dari Abdullah bin Mas’ud, tidak hanya dari satu jalan saja. (Pembahasan) takhrij hadits ini sudah terdahulu pada jilid ke 5 As Silsilah As Shahihah no. 2380, juga dalam kitab Ar Raud no. 605. Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas sekali, bahwa menjawab salam dengan ucapan bagi orang yang sedang shalat pada permulaan Islam disyari’atkan, yaitu ketika di Makkah. Kemudian hukum tersebut dihapus dengan menjawab salam dengan isyarat di Madinah. Jika demikian halnya, maka di dalam hadits ini (juga) terdapat anjuran mengucapkan salam kepada orang yag sedang shalat. Karena Nabi n tidak mengingkari salamnya Ibnu Mas’ud. Beliau juga tidak mengingkari orang-orang yang mengucapkan salam kepadanya, padahal beliau sedang shalat.

Berdasarkan hal ini, maka merupakan kewajiban atas para penolong sunnah untuk berlemah-lembut dalam menyampaikan dan menerapkan masalah ini. Karena manusia adalah musuh bagi perkara-perkara yang tidak mereka ketahui (manusia memusuhi perkara-perkara yang tidak mereka ketahui), terutama para pengikut hawa nafsu dan pengikut kebid’ahan. [As Shahihah 6/998-999 disertai perubahan]

Kelompok yang melarang menjawab salam dengan isyarat juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ غِرَارَ فِي صَلاَةٍ وَلاَ تَسْلِيمٍ

Tidak boleh ghirar dalam shalat dan tidak boleh salam

Ghirar maksudnya mengurangi atas perbuatan atau rukun.

Adapun salam yang dilarang disini, maksudnya ialah menjawab salam dengan ucapan, bukan dengan isyarat demi mempertemukan antara dalil-dalil yang ada.

Kelompok yang melarang menjawab salam dengan isyarat juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud.

مَنْ أَشَارَ فِي صَلَاتِهِ إِشَارَةً تُفْهَمُ عَنْهُ فَلْيُعِدْ هَا

Barangsiapa yang memberikan isyarat yang bisa dipahami, maka dia harus mengulanginya

Maksudnya mengulangi shalat.

Hadits ini adalah hadits yang mungkar. [Lihat Zaadul Ma’ad, yang ditahqiq oleh Arnauth, Ad Dhaifah no. 1104 dan Dha’if Sunan Abi Daud no. 200]

Imam Syaukani berkata,“Orang yang mengatakan hadits itu shahih, wajib untuk membawa pengertian isyarat yang disebutkan dalam hadits tersebut, kepada isyarat yang bukan untuk menjawab salam, atau isyarat tanpa keperluan untuk mempertemukan antara beberapa dalil.[Nailul Authar 2/378]

Demikian pembahasan dalam permasalahan ini. Wallahu a’lam bish shawab.

(Diterjemahkan Oleh Abu Abdurrahman dari Majalah Al Ashalah, Edisi 31 tahun ke VI/15 Muharram 1422 H hal. 69-72)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Sumber: almanhaj.or.id

1 Mar 2012

Bolehkah Menggunakan Peralatan Milik Kantor untuk Berdakwah?


Pertanyaan,
“Kami adalah karyawan di sebuah perusahaan. Kami memanfaatkan beberapa peralatan milik kantor untuk mengkopi beberapa artikel keislaman untuk kami bagikan kepada orang lain. Kami juga mendengarkan rekaman pengajian dan lantunan ayat-ayat Alquran melalui komputer kantor. Hal ini kami lakukan di waktu longgar, setelah selesai bekerja. Apakah perbuatan kami ini diperbolehkan? Berkaitan dengan perbuatan yang dahulu telah kami lakukan, apakah cukup hanya dengan bertobat?”


Jawaban,
“Menggunakan peralatan kantor adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan, meski dengan tujuan ingin membagikan artikel-artikel keislaman kepada orang lain. Seorang pegawai–alias karyawan–adalah seseorang yang diberi amanah berupa alat-alat kantor yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan dia diberi amanah berupa rincian pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, seorang karyawan tidak boleh memanfaatkan barang yang diamanahkan kepadanya untuk selain kepentingan pekerjaan dan kantor.
Akan tetapi, jika perusahaan itu adalah perusahaan perseorangan yang jelas pemiliknya, lalu pemilik perusahaan memperbolehkan pemanfaatan barang-barang kantor maka hukum pemanfaatan barang-barang milik kantor adalah diperbolehkan. Izin dari pemilik perusahaan bermakna “pemilik perusahaan memberi sumbangan atau hadiah dari harta miliknya kepada karyawannya”.

Namun, jika peralatan tersebut adalah milik kantor atau instansi pemerintah maka memakainya bukan untuk kepentingan kantor adalah suatu hal yang terlarang, meski kepala kantor memperbolehkannya, karena kepala kantor tidaklah memiliki kewenangan untuk memanfaatkan peralatan tersebut untuk kepentingan pribadinya, sehingga bagaimana mungkin dia memberikan izin kepada orang lain?

Semisal dengan hal di atas adalah mempergunakan komputer kantor untuk mendengarkan kajian keislaman atau pun lantunan ayat-ayat Alquran. Terlebih lagi, jika hal tersebut dengan menggunakan jaringan internet atau semisalnya, yang menyebabkan adanya tambahan beban biaya kepada kantor atau perusahaan.
Jika pemanfaatan komputer kantor tersebut tidak menyebabkan adanya biaya tambahan yang terbebankan kepada kantor maka penggunakan komputer kantor–dalam hal ini–kehalalannya belumlah jelas karena komputer kantor–dalam hal ini–tidaklah dipergunakan untuk kepentingan kantor.

Walhasil, hal-hal di atas tidak boleh dilakukan. Anda berkewajiban untuk bertobat kepada Allah dan mengembalikan barang milik kantor yang Anda manfaatkan.

Jika Anda mengambil kertas kantor untuk keperluan foto kopi maka Anda berkewajiban mengembalikan kertas ke kantor sebanyak jumlah kertas yang Anda pergunakan untuk keperluan foto kopi. Demikian pula dengan mesin foto kopi milik kantor yang Anda gunakan; Anda wajib menyerahkan–kepada kantor–uang biaya pemanfaatan mesin foto kopi kantor. Misalnya, untuk mengopi selembar kertas, biayanya adalah seratus rupiah, maka uang yang wajib diserahkan ke kantor adalah seratus rupiah dikalikan jumlah kertas foto kopi.
Jika Anda tidak bisa memastikan nilai yang harus Anda serahkan ke kantor maka serahkan sejumlah uang kepada pihak kantor Anda, yang dengannya Anda yakin bahwa seluruh kewajiban Anda sudah terbayarkan.
Anda tidak harus menyerahkan uang ke kantor. Anda bisa mewujudkannya dalam bentuk kertas atau hal lainnya yang diperlukan oleh kantor.

Memanfaatkan mobil plat merah

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai hukum memanfaatkan mobil dinas (baca: plat merah) untuk kepentingan pribadi.

Jawaban beliau, “Memanfaatkan mobil dinas milik negara atau pun peralatan lain milik negara, semisal mesin foto kopi, printer, dan lain-lain untuk kepentingan pribadi adalah satu hal yang terlarang karena benda-benda tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umum.

Jika ada seorang PNS yang memanfaatkan barang-barang tersebut untuk kepentingan pribadi maka itu adalah kejahatan terhadap masyarakat. Benda atau peralatan itu, yang diperuntukkan bagi kaum muslimin dan merupakan milik seluruh kaum muslimin (baca: seluruh rakyat), terlarang untuk dimanfaatkan oleh siapa pun, untuk keperluan pribadinya.

Dalilnya adalah bahwa Nabi melarang ghulul. Ghulul adalah tindakan seorang yang memanfaatkan, untuk keperluan pribadinya, sebagian harta rampasan perang yang masih menjadi milik umum, seluruh tentara yang ikut perang.

Kewajiban setiap oramg yang melihat adanya PNS yang memanfaatkan peralatan milik negara atau mobil dinas untuk kepentingan pribadinya adalah menasihati PNS tersebut dan menjelaskan kepadanya bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan haram.

Jika Allah memberikan hidayah kepadanya maka itulah yang diharapkan. Jika yang terjadi adalah kemungkinan yang jelek maka hendaknya tindakan PNS tersebut dilaporkan kepada pihak-pihak yang bisa memberikan teguran dan peringatan.

Melaporkan ulah PNS tersebut adalah bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ « تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ »

Dari Anas radhiallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat zalim atau dizalimi.” Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, menolong orang yang dizalimi itu bisa kami lakukan. Lalu, bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim?” Jawaban Nabi, “Cegahlah dia dari melakukan tindakan kezaliman. Itulah bentuk pertolongan terhadap orang yang zalim.” (H.R. Bukhari, no. 6552)

Bagaimana jika kepala kantor sudah mengizinkan?
Ibnu Utsaimin ditanya, “Jika kepala kantor mengizikan, apakah penggunakan peralatan milik negara tetap terlarang?”
Jawaban beliau, “Tetap terlarang, meski kepala kantor mengizinkannya, karena kepala kantor tidak memiliki kewenangan terkait pemanfaatan pribadi atas peralatan milik negara. Oleh karena itu, bagaimana mungkin dia memberi izin kepada orang lain?” (Liqa` Al-Bab Al-Maftuh, pertanyaan no. 238)

Referensi: http://www.islam-qa.com/ar/ref/47067
Diterjemahkan oleh Ustadz Aris Munandar, M.A.

Sumber: www.PengusahaMuslim.com
re-publish: webmoslem.blogspot.com