30 Des 2010

MUSIBAH ADALAH UJIAN BAGI SETIAP MUKMIN

Oleh Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.

Segala puji dan syukur hanya milik Allah Ta’ala yang telah berfirman dalamm kitab-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah: 155-157), shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diuji oleh Allah U dengan berbagai macam ujian, namun beliau selalu bersabar dan bersyukur, serta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Tidak samar bagi setiap orang, bahwasanya dalam kehidupan dunia ini tidak lepas dari ujian dan cobaan, serta musibah yang menimpa kita. Setiap mukmin pasti akan menghadapi berbagai macam ujian, karena Allah ta’ala tidak akan membiarkan begitu saja orang yang mengaku dirinya beriman tanpa adanya ujian. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Ankabut:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ  وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. al-Ankabut: 2-3)

Ya, kita semua berada dalam ruang ujian yang besar, ujian dalam kehidupan dunia. Semua yang ada padanya adalah ujian dan cobaan. Harta, anak dan istri, kekayaan dan kemiskinan serta kesehatan dan penyakit adalah ujian, dan kita akan diuji pada setiap apa yang kita miliki.

Allah ta’ala berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. al-Anbiya`: 35)

Namun apa pun ujian dan cobaan yang menimpa kita, maka itulah yang terbaik, apabila kita bersyukur terhadap nikmat-Nya dan bersabar atas cobaan-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh unik perkaranya orang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya baik, dan itu tidaklah dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Apabila ia diberi nikmat, ia bersyukur, dan ini baik baginya dan apabila ditimpa musibah, dia bersabar, dan ini baik pula baginya.” (HR. Muslim)

Dan hendaknya kita yakin akan takdir Allah, baik dan buruknya. Karena ini merupakan hal yang penting sekali bagi seseorang yang ditimpa musibah. Ketika dia yakin, insya Allah musibah itu akan terasa ringan bagi kita. Oleh karena itu, kita harus yakin sesungguhnya segala cobaan dan musibah yang menimpa kita tidak lepas dari takdir Allah.

Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al-Hadid: 22-23)

Beberapa hikmah dan pelajaran dari musibah yang menimpa kita:

1.   Dalam musibah ada pelajaran tauhid, keimanan dan tawakal. Bukankah kita jadi mengetahui bahwa kita adalah hamba yang lemah dan tidak memiliki daya atau upaya, kecuali hanya dari Allah semata, maka bertawakallah hanya kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, serta kembali kepada-Nya karena Allah Maha Mampu dalam segala hal. Kita hanyalah hamba yang lemah dan dhaif, maka kembalilah kepada yang Maha Perkasa lagi Maha Berkuasa.

2.   Dengan adanya musibah kita menjadi tahu akan hakekat dunia dan berbagai macam tipu daya yang ada di dalamnya. Karena kehidupan yang sempurna hanya ada di akhirat.

Allah ta’ala berfirman:

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Ankabut: 64)

3.   Musibah mengingatkan kita akan karunia dan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dalam bentuk kesehatan. Dengan adanya musibah ini merupakan penjelasan yang gamblang dan sangat jelas sekali akan makna nikmatnya sehat, dimana kita merasakan sehat selama bertahun-tahun, tapi kita lalai akan hal itu, tatkala dengan tiba-tiba nikmat sehat itu hilang kita baru sadar akan nikmatnya sehat. Betulah apa yang dikatakan seseorang:

الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يراه إلا المرضى

“Kesehatan bagai mahkota yang ada di atas kepala orang-orang yang sehat, yang tidak dilihat kecuali oleh orang-orang yang sakit”.

4.   Musibah merupakan peringatan bagi kita, supaya kita tidak terlalu gembira yang berlebihan dan tidak mudah berputus asa.

Allah Ta’ala berfirman:

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al-Hadid: 22-23)

5.   Musibah dapat mengingatkan aib diri kita, agar kita dapat bertaubat dari dosa-dosa.

Allah Ta’ala berfirman:

مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. an-Nisa`: 79)

Dan juga firman-Nya:

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. asy-Syura: 30)

Bahkan dengan adanya musibah, ini merupakan kesempatan untuk bertaubat sebelum diturunkannya adzab yang lebih besar, dimana Allah ta’ala berfirman:

Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azhab yang dekat (di dunia) sebelum azhab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. as-Sajdah: 21)

6.   Musibah bisa melatih kesabaran. Bukankah kita butuh kesabaran dalam segala hal? Kita tidak akan dapat teguh di atas al-haq kecuali dengan bersabar dalam mentaati Allah, kita tidak akan dapat menjauhi kebatilan kecuali dengan cara sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah. Alangkah indahnya kesabaran itu, dan kesabaran adalah bekal yang dapat mengantarkan ke surga yang penuh dengan keabadian.

Allah ta’ala berfirman:

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (QS. Fushshilat: 35)

Dan akhirnya, mudah-mudahan kita dapat memperoleh pahala dari musibah yang ada, dimana tak ada jalan untuk memperoleh pahala kecuali dengan kesabaran dan tak ada kesabaran kecuali dengan keinginan yang tulus dan penuh keyakinan. Allahu Ta’ala a’lam.

file abusalma.wordpress.com

28 Des 2010

Manhaj Para Rasul Dalam Berdakwah Kepada Allah

Oleh
DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr

Manhaj para nabi maksudnya adalah jalan, metode dan sarana yang ditempuh oleh para Rasul dalam berdakwah kepada Allah. Dakwah kepada Allah adalah kewajiban dan satu keharusan agama. Sejauh dakwah ini sesuai dengan manhaj para rasul termasuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dakwah ini akan di terima disisi Allah, berhasil dan memiliki pengaruh baik serta terbukti memberikan hasil dengan idzin Rabb. Namun setiap kali dakwah itu jauh dari manhaj para rasul, baik dahulu atau sekarang, dakwah ini akan pahit hasilnya, tertolak dan membuat fitnah.

Dakwah seperti ini, ibarat orang yang mengurai benang setelah di pintal. Sudah menjadi kewajiban setiap da’i dan orang yang berkecimpung didalamnya untuk mengetahui, memahami dan mengikuti jalan yang telah di tempuh oleh para nabi dalam dakwah mereka kepada Allah. Allah telah menjelaskan dalam kitabNya dan menceritakan kepada kita kisah-kisah para nabi. Dia jelaskan jalan, cara dan hal yang diutamakan para nabi. Demikian juga Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan haal itu dalam sunnahnya yang shahih.

Saya tidak ingin memperpanjang pembukaan ini. Saya jelaskan beberapa point penting diantaranya:

1. Diantara Tanda Manhaj Dakwah Para Nabi Yang Paling Jelas Adalah Ikhlas.

Mereka ikhlas dalam dakwah dengan hanya mencari wajah Allah. Ikhlas merupakan ruh amal shalih, sedangkan dakwah kepada Allah merupakan amal shalih dan ketaatan yang paling utama yang bisa mendekatkan seorang da’i kepada Allah. Demikianlah Allah memerintahkan kiat berbuat ikhlas dan menyatakan, ikhlas menjadikannya syarat diterima dan selamatnya satu amalan. Allah tidak akan menerima satu perbuatanpun kecuali dengan keikhlasan mencari wajah Allah. Allah berfirman:

أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. [Az-Zumar/39 : 2]

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ

Padahal mereka tidak disuruh keculi supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurs. [Al-Bayyinah/98 : 5]

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكََاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أََشْرَكَ فِيْهِ غَيْرَهُ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

Saya adalah dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu (teman). Barangsiapa melakukan satu perbuatan, dia sekutukan aku dengan yang lain pada amal itu, maka aku tinggalkan (biarkan) ia dengan sekutunya.

Allah tidak akan menerima satu amalanpun, kecuali dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah maksud dari firman Allah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya. [Al Kahfi/18:110]

Oleh karena itu para ulama’ berkata: Syarat diterimanya sebuah amal shallih ada dua yaitu amal perbuatan tersebut diikhlaskan untuk mencari wajah Allah dan syarat kedua adalah amal tersebut harus sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثََ فِيْ أَمْرِنَا هَذََ مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوََ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru (yang tidak ada petunjuk dari Rasul) dalam agama kita ini maka ia tertolak.

Dan

مَنْ عَمِلََ عَمَلاً لَيْسََ عََلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan itu tertolak.

Wahai saudara-saaudaraku …
Perhatikanlah ! bagaimana ketidak ikhlasan bisa menyebabkan sebuah amal tertolak dan kebinasaan si pelaku. Na’udzubillah

Dalam sebuah hadits yang shahih, yang maknanya : Tiga orang Pertama yang menjadi bahan bakar neraka adalah orang berilmu, orang yang mati syahid dan orang yang dermawan. Orang alim yang Allah berikan ilmu dan hikmat. Dia dibawa dihadapan Allah, Allah menyebutkan nikmat-nikmat lalu dia mengakuinya. Allah berkata kepada orang itu: “Hai hambaku, Aku telah memberikan ilmu kepadamu. Apa yang lakukan dengannya?”
Orang itu menjawab: “Wahai Rabbku, aku telah mempelajari dan mengajarkan !”
Lalu Allah berfirman: “Engkau bohong ! Engkau belajar dan mengajarkannya agar engkau disebut orang berilmu dan ucapan tersebut sudah terucap. Lalu Allah mengambil wajah orang tersebut dan mencampakkannya di neraka Jahannam. Demikian juga yang Allah lakukan kepada orang yang mati syahid berjuang bukan untuk mencari wajah Allah dan tidak untuk meninggikan kalimat Allah. Dia berjuang supaya disebut pemberani. Demikian juga Allah memperlakukan orang yang dermawan namun dia dermawan bukan karena Allah, dia berbuat demikian suapaya disebut dermawan. [Hadits Shohih]

Wahai saudaraku …
Keikhlasan itu harus ada pada diri seorang da’i. Jika seorang da’i tidak jujur dan tidak ikhlas, maka dia tidak mendapat taufik dari Allah dalam dakwahnya dan tidak mendapatkan pertolongan, pemeliharaan Allah serta Allah tidak akan memperdulikannya. Bertolak dari ini Allah berfirman tentang hak Yusuf Alaihissallam seorang pemuda yang memiliki keikhlasan:

كَذَلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih. [Yusuf/12:24]

Dalam sebuah qira’ah yang mutawatir الْمُخْلَصِينَ . Mukhlis adalah oraang yang ikhlas dalam beramal sedangkan mukhlash adalah orang yang Allah berikan keikhlasan dalam beribadah, ketaatan dan pembuktian penghambaannya di muka bumi.

Perhatikanlah tiga orang yang terpaksa menginap di gua, lalu batu pegunungan jatuh menutupi pintu gua. Apa yang telah menyelamatkan mereka dari musibah tersebut ? Yang telah menyelamatkan dari bencana tersebut adalah kejujuran dan keikhlashan mereka.

Masing-masing mereka berdo’a kepada Allah dengan perantara amalan mereka yang diikhlaskan kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata: “Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini, kecuali permohonan kalian kepada Allah dengan perantara amal shalih kalian”. maksudnya amalan yang paling ikhlas. Inilah satu jenis tawassul yang di perbolehkan dengan menjadikan amal shalih sebagai perantara kepada Allah. Kemudian masing berdo’a kepada Allah dengan amal shalihnya.

Orang pertama berdo’a kepada Allah dengan perantara bakti kepada kedua orangtuanya. Orang kedua berdo’a dengan perantara kemampuan menjaga kesuciannya dan meninggalkan zina pada saat dia mampu. Orang ketiga berdo’a dengan sifat amanahnya. Kemudian batu besar tersebut bergerak dan bergeser sehingga akhirnya mereka bisa keluar. Inilah balasan ikhlas bagi pelakunya.

Seorang da’i harus ikhlas supaya mendapatkan taufik dalam dakwahnya dan dakwahnya diterima oleh masyarakat. Orang ikhlas dicintai Allah dan dicintai manusia. Jika Allah suka kepada seorang hamba, dia akan memanggil Malaikat Jibril: ‘Ya Jibril saya suka kepada si Fulan, hendaklah kalian mencintainya!” kemudian Jibril memanggil para malaikat: “Sesungguhnya Allah suka kepada si fulan, maka cintailah ia !” kemudian ia di jadikan diterima di muka bumi. Orang ikhlas diterima hati banyak orang. Dengan sebab mereka dan dakwah mereka ini, Allah berkenan membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta.

2. Ilmu Dan Bashirah.
Allah berfirman.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين

Katakanlah, "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. [Yusuf/12:108]
َ
Dalam ayat ini, Allah jelaskan, jalan dakwah kepada Allah merupakan jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru dengan bashirah dari Allah dan mengajak dengan ilmu dan kepada ilmu, karena ilmu adalah pondasi perbaikan agama.

Ketika penduduk Makkah berada dalam kerusakan; rusak aqidah dan akhlaq. Mereka memakan bangkai, mengubur anak perempuan hidup-hidup, meminum khamer, melakukan perbuatan yang membinasakan dan membuat patung-patung dari kurma dan lainnya, jika lapar mereka memakan patung tersebut.

Ayat-ayat yang turun mengajak kepada ilmu, mengajak membaca dan menyuruh dengan perintah yang lain banyak, karena ilmu merupakan asas perbaikan. Karenanya lima ayat yang pertama kali turun, mengajak membaca, belajar dan mengajar. Allah berfirman

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. [Al Alaq/96:1-5)

Ayat-ayat permulaan ini tidak mengajak nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memecahkan wadah khamer, menghancurkan patung, ataupun yang lain, akan tetapi mengajak kepada ilmu. Allah telah mengajar manusia apa yang belum ia ketahui, mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Lalu memberikan kalian pendengaran, penglihatan dan hati. Setiap kali manusia itu belajar dan memahami agamanya, dia akan semakin dekat kepada Rabbnya. Dan setiap kali mereka mengetahui tipu daya syaithan manusia dan jin, maka semakin mengenal kebenaran dan mengikutinya, mengenal keburukan dan menjauhinya.

Demikianlah seharusnya. Ketika rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim para da’i dan tenaga pengajar, beliau mengirim Mush’ab bin umair ke Madinah, mengutusnya dalam keadan mengerti tugas sebagai pengajar dan mengerti materi yang diserukan. Demikian juga Rasulullah mengirim Abu Musa Al-‘As’ariy dan Mu’az bin Jabal ke Yaman. Mereka itu dalam keadaan mengerti apa yang akan mereka dakwahkan. Ketika Rasulullah mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berkata:

Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau dakwahkan adalah SYAHADATU AN LAAILAHA ILLAH WA ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH (persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di semabah kecuali Allah dan persaksian bahwa Muhammad Rasulullah) jika mereka mentaatimu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibka kepada mereka sholat lima waktu …[Hadits].

Rasul tidak pernah mengirim orang awam atau orang bodoh untuk mengajak manusia kepada agama ini, akan tetapi hanya mengutus para da’I dan ulama’. Dari sini kita dapat mengetahui bahaya dan mudlaratnya sebagian jama’ah-jama’ah dakwah yang mengumpulkan orang dari pasar, lalu mengarahkan mereka dan mengutus mereka sebagai khatib dan pemberi peringatan. Mereka menasehati dan mengingatkan manusia, sementara mereka tidak memiliki ilmu. Sehingga mereka menganggap jelek sesuatu yang baik dan menganggap benar sesuatu yang salah.

Mereka menyebarkan hadits-hadits palsu dan cerita-cerita bohong mengenai Rasulullah. Mereka menyangka telah berbuat baik padahal tidak.

Oleh karena itu, seorang da’i harus mengetahui keadaan obyek dakwah, subyek dan materi dakwahnya serta memiliki kemampuan mematahkan hujjah dengan hujjah, dalil dengan dalil. Demikian juga mampu mengalahkan kebathilan dengan kebenaran. Sebagaimana firman Allah:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُون

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensipati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya). [Al Anbiya/21:18]

Oleh karena itu berdakwah kepada Allah harus berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan kebodohan ataupun kebutaan. Seorang da’i harus mempersenjatai diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dia mesti menumpahkan perhatian kepada ilmu dan membuat program pengajaran untuk semua orang dan juga membuat program praktek lapangan dakwah kepada Allah. Adapun dakwah yang tegak diatas kebodohan dan taqlid (ikut-ikutan), memusuhi ilmu dan ulama’, maka itu bukan dakwah para nabi dan tidak berada diatas manhaj para nabi sedikitpun.

3. Termasuk Manhaj Dakwah Para Nabi Adalah Mendahulukan Yang Terpenting Baru Yang Penting (Membuat Skala Prioritas).

Berdasarkan hal ini, kita melihat para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal-hal yang mendasar (fondasi), tidak memulai dari atap karena orang yang memulai daari membangun atap sebelum fondasi, maka atap itu akan menjatuhi kepada mereka.

Semua para nabi mengucapkan perkataan seorang nabi:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak memiliki tuhan selain Dia. [Al A’raf/7: 64]

Dalam hadits Mu’az yang telah lewat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari Mu’az agar memulai dari yang terpenting. Jika seandainya ada seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit dari penyakit yang sangat berbahaya, kemudian mengetahui penyakit lain pada diri si pasien, seperti filek atau penyakit ringan yang lain, lalu si dokter sibuk menangani penyakit ringan tersebut, sebelum menangani penyakit yang berbahaya itu. Jadilah dokter tersebut penipu pasien. Dokter tersebut membantu proses kematian pasien. Jika ada pasien menderita kekurangan darah, kemudian dokter memulai dengan mengobati luka yang ada pada jari jemari kaki pasien, maka jadilah dokter ini orang jahat dan berperan dalam kematian si pasien, jika sampai pasien itu mati. Karena kewajiban seorang dokter mengobati penyakit yang paling berbahaya serta mengancam kehidupan si pasien.

Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang sebelum perkara tauhid dan dari perkara mendasar yang lain, ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati, atau ibarat orang yang ingin menghidupkan orang mati atau seperti orang yang membangun atap sebelum fondasi. Alangkah gampangnya atap itu menimpa kepala mereka.

Bagaimanapun lamanya seorang da’i yang menyeru kepada tauhid, tidak boleh merasa bosan dan lelah dan tidak boleh merubah dan mengganti manhajnya, sehingga orang khusus dan awam meridhoinya. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap konsisten diatas aqidah tauhid dan berdakwah kepada tauhid diatas ilmu dan komitmen padanya sampai mati.

Lihatlah Nabi Nuh selama 950 tahun hanya berdakwah kepada tauhid, menasehati dengan tauhid dan hanya memperingatkan umatnya dari kesyirikan, tinggal selama 950 tahun dan tidak menegakkan panji, tidak lelah dan bosan dan tidak pula merasa lelah, sudah sedemikian rupa, tidak beriman dengannya kecuali sedikit. Demikian juga para nabi yang lainnya banyak, mereka menyeru kapada tauhid bertahun-tahun dan berhari-hari. Tidak mengikuti mereka kecuali seorang atau dua orang dan sebagian mereka datang tanpa seorang pengikutpun, apakah mereka meninggalkan dakwah tauhid? Jawabnya: ‘Tidak.’

Lihatlah nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal 23 tahun dalam keadaan menyeru: “wahai manusia katakanlah la ilaha ilaa allah niscaya kalian beruntung”. Sedangkan sebagian da’i berputus asa dan berkata: ‘kami telah mendakwahi mereka berkali-kali dan mereka tidak mau menerimanya. Kita mesti menyeru mereka kepada politik, demonstrasi dan unjuk rasa. Lalu meninggalkan manhaj para nabi dalam berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak menuai kecuali penyesalan dan penghancuran umat, karena mereka menyibukkan umat dalam perkara yang bukan bidangnya, menyibukkan mereka dengan perkara yang khusus dimiliki para raja dan penguasa, menyibukkan mereka pada selain tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman tentang tujuan penciptaan manusia:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz Dzariyat/51:56]

Mereka telah menyibukkan manusia dengan politik internasional yang kotor dan tidak menegakkan peribadatan mereka, tidak menjadikan mereka sebagai hamba robb, tidak mengajarkan mereka tauhid, sholat dengan rukun, kewajiban, khusu’ dan sunnahnya dan tidak mengajarkan manusia sesuatu yang berguna bagi mereka dalam agama dan dunianya.

4. Seorang Da’i Harus Menjadi Contoh Teladan Yang Baik Bagi Obyek Dakwahnya (Mad’u) Dan Menjadi Teladan Pada Dirinya, Karena Seorang Da’i Jika Tidak Demikian Maka Dakwahnya Akan Manjadi Bencana Baginya Dan Dakwah Tidak Mendapatkan Orang Yang Mau Mendengarnya.

jika mereka melihatnya memerintah manusia untuk ikhlas, didapati ia seorang yang berbuat riya’. Jika menyeru manusia untuk tawadhu’, didapati dia seorang yang sombong sekali. Jika menyeru manusia untuk berderma, didapati dia seorang yang paling kikir. Jika menyeru orang untuk berpegang teguh kepada syariat islam, tidak memakan riba dan meninggalkan kemaksiatan, mereka melihatnya selalu bermaksiat. Menyeru orang untuk memberikan penutup aurat istri mereka dan memaksa anak-anaknya berjilbab, lalu mereka melihat anak, saudara perempuan dan istrinya berpakaian minim. Bagaimana orang akan berbaik sangka dengan dakwahnya? bagaimana mereka mau mendengarkan dan melihat serta mengambil ilmu darinya? Oleh karena itu teladan yang baik harus di miliki seorang da’I dalam dakwahnya, jika tidak terdapat hal ini, maka dia tidak akan memiliki pengaruh pada para mad’u, bahkan mereka akan lari dan meninggalkanya.

Dari sini Allah menjadikan para nabi orang yang paling baik nasab, akhlak dan bentuk tubuhnya. Allah menyelamatkan tubuh mereka dari penyakit yang tidak disukai manusia, sepeerti penyakit kusta, dan yang lainnya dari panyakit yang menular. Demikian juga Allah memberikan mereka akhlaak yang mulia dan memberikan penutup mereka nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam akhlak yang paling mulia. Allah khabarkan dalam firmanNya:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al Qalam/68 : 4]

Ditanya Umul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu menjawab kepada penanya: Wahai anak saudaraku, apakah kamu telah membaca Al-Qur’an?’
Dia jawab: ‘Ya’.
Lalu beliau berkata: ‘Akhlaknya Rasululloh Al-Qur’an’.

Perkataan Aisyah disini telah mencakup semua sifat dan sejarah hidup Rasulullah.

Telah disusun satu kitab tentang kemulian akhlak Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah 12 jilid dengan judul: Nadhratun Na’iim Fi Makaarim Akhlaqir Rasulil Kariim, yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Akan tetapi inipun masih sedikit dari semestinya. Demikian juga seorang penulis barat menulis sebuah buku yang diberi nama: “Seratus Tokoh Dunia yang telah Merubah Sejarah”. Dia menjadikan Rasululloh sebagai orang pertama dalam buku tersebut. Sungguh ini adalah persaksian yang benar dari musuh Islam, walaupun sedikit sekali mereka berbuat adil, akan tetapi dia telah berbuat adil dalam bukunya ini, karena Nabi Muhammad n orang yang berjalan dimuka bumi ini daan makhluk terbaik yang Allaah ciptakan. Allah mengutusnya untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana sabda beliau:

إِنَّمََا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِِمَ الأَخْلاَقِ.

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Oleh karenaa itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para da’i untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi manusia, Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ .

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [Ash Shaff/61:2-3]

Sekarang kalian duduk dalam ceramah ini, lalu datang penceramah dan mengatakan: ‘rokok harom dan makruh, berbahaya, dapat mengakibat penyakit ini dan itu’. Kalian serius sekali mendengarkannya. Ketika kalian mendengarkannya dengan sangat serius, tiba-tiba dia mengeluarkan rokok kreteknya didepan kalian dan mengisapnya. Apa yang akan kalian katakan? Apakah kalian akan mendengarkan dan memperhatikannya setelah itu? Niscaya kalian akan mengatakan: ‘orang ini lebih butuh nasehat dari kita’.

Berapa banyak kemudhoratan dakwah mereka ini, mereka menyeru kepada sunnah, padahal mereka adalah orang yang paling jauh, bahkan melakukan kebidahan, menyeru orang untuk taat, padahal mereka setiap hari bermaksiat. Merekalah orang yang menyeru kepada sunnah, sekaligus menyembelihnya.

Adapun pakaian mereka, pakaian ala eropa, mengenakan pantalon yang sempit yang menampakkan auratnya, kemudian melaknat Amerika dan mengatakan:’ kami memboikot Amerika’, sedangkan kalian mengenakan dasi dan memasang satelit (para bola) dirumah kalian.

Kalau begitu, wahai saudara-saudaraku…
Seorang da’i harus menjadi teladan dalam dakwahnya, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendidik generasi terbaik, generasi contoh dan teladan. Beliau mendidik para sahabat diatas akhlak yang mulia sehinga mereka lulus dari madrasah kenabian dan bertebaran dipermukaan bumi.

Bangsa Arab tidak masuk negeri kalian ini dengan peperangan, akan tetapi dengan perdagangan. Datang kenegeri ini para sahabat dan tabi’in sebagai pedagang yang membawa akhlak mulia, muamalah yang baik, amanah dan kejujuran, sehingga penduduk Indonesia ini terpengaruh dan masuk ke dalam agama Islam. Maka sangat perlunya seorang da’I ila Allah untuk menjadi teladan

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

Seorang dibawa pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka lalu terburai ususnya di neraka, lalu dia berkeliling seperti keledai berkeliling pada batu penggilingan, lalu berkumpullah ahli neraka mengelilinginya daan berkata: ‘Wahaai fulan kenapa kamu demikian? Bukankah kamu memerintahkan kami kepada kemakrupan dan mencegah kami dari kemungkaran. Dia menjawab: ‘memang saya dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan, saya tidak melaksanakannya dan malarang kalian dari kemungkaran dan saya melaksanakannya. [HR Bukhari]
.
5. Berdakwah Kepada Allah Dengan Hikmah, Nasehat Yang Baik Dan Lemah Lembut Kepada Manusia, Karena Kekasaran, Kekerasaan Dan Sikap Arogan Dapat Menjauhkan Manusia Dari Dakwah.

Oleh karena itu para nabi adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan yang paling mengetahui kebenaran. Sifat ini berpindaah kepada ahlu sunnah wal jamaah pemilik manhaj yag benar, sebagaimana disampaikan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam ucapannya: ‘Ahlu sunnah wal jamaah adalah orang yang oaling kasih kepada makhluk dan paling mengetahui kebenaran’.

Allah telah menyampaikan kepada NabiNya, Nabi yang dicintai sahabat dan umatnya sampai mereka menyerahkan kepadanya jiwa, harta dan anak-anak mereka:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali Imran/3 :159]

Beliaulaah yang memerintahkan untuk berlemah lembut dan melarang kekerasan, dalam sabdanya:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

Kelemah lembutan tidaklah ada pada sesuatu, kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya. [HR Muslim]

Dan sabda beliau:

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ *

Siapa yang tidak memiliki kelembutan maka tidak mendapat kebaikan. [HR Muslim]

Beliaupun berkata kepada salah seorang sahabatnya:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

Sesungguhnya terdapat padamu dua sifat yang Allah dan rasulNya cintai; lemah lembut dan tidak tergesa-gesa. [HR Muslim]

Demikian juga beliau memperingatkan kekerasan dalam sabdanya:

إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

Sesungguh sejelek-jeleknya pengembala adalah yang kasar. Berhari-hatilah jangan sekali-kali kamu menjadi golongan mereka.

Dan bersabda:

خِيَارُ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَدْعُوْنَ لَهُمْ وَيَدْعُوْنَ لَكُمْ وَشِرَارَ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَلْعَنُوْنَهُمْ و يَلْعَنُوْنَكُمْ.

Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang kalian mendoakan kebaikan padanya dan mereka mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian.

Seorang da’i sepatutnya menjadi orang yang memiliki kasih sayang kepada obyek dakwahnya, berlemah lembut dan mengharapkan hidayat mereka dan tidak mengharapkan kesulitannya.

Demikianlah sebagian isi ceramah beliau, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan oleh Nusadi dan Kholid Syamhdi, dari ceramah Dr Muhammad bin Musa Alu Nasr, pada acara Daurah Islamiyah hari Ahad sampai Rabu, 3-6 Muharram 1423H/17-20 Maret 2002M

27 Des 2010

Tabligh Akbar 2 Januari 2010 Karawang

info

بسم الله

HADIRILAH
TABLIGH AKBAR
KAJIAN ILMIAH & BEDAH BUKU

bersama Rosulullah صلی الله علیه وسلم
MENDIDIK GENERASI IDAMAN
karya: dr. Fadhl Ilahi

Pembicara:
Ustadz Abu Islama Imanuddin, LC
(mudir Ponpes Hidayatun Najah)

tanggal:
2 Januari 2010
waktu: 09.00-15.00
tempat:
Masjid Al Jihad
Jl.A Yani (ByPass) Karang Pawitan,
Karawang

penyelenggara:
-Yayasan As-Syifa Al Islamiyyah Karawang
-DKM Masjid Al Jihad
-Rumah Ilmu Karaba

GRATIS
UNTUK UMUM
IKHWAN & AKHWAT

CP: Abu Rifky 08211383734

العلم نرا
ilmu itu cahaya

Mencari Sutrah Bagi Makmum Masbuk

Al-Imam Malik-rahimahullah- berkata,
“Orang yang meneruskan rakaatnya yang tertinggal dari imam, tak mengapa
baginya untuk berjalan mendekati tiang yang berada paling dekat di
hadapannya, di samping kanan, di sebelah kiri atau di belakang; dia
berjalan mundur sedikit. Dengan demikian dia bisa menjadikan tiang ini
sebagai sutroh (penghalang). Jika ia jauh (dari tiang), maka dia tetap
berdiri di tempatnya dan harus menghalangi orang yang lewat dengan
sekuat tenaga”. [Lihat Syarh Az-Zarqani ala Mukhtasar khalil(1/208)].
Ibnu Rusyd berkata, “Jika dia meneruskan rakaat yang tertinggal dari
imam, dan dia berada di dekat tiang, hendaklah dia berjalanmenuju
kepadanya. Tiang tersebut adalah sutroh (penghalang) dalam sisa-sisa
sholatnya. Jika di dekatnya tidak ada tiang, maka dia tetap shalat di
tempatnya dan mencegah orang yang akan lewat di hadapannya dengan sekuat
tenaga. Barang siapa yang lewat di depannya, maka ia berdosa. Adapun
orang yang lewat di antara shaf, jika jama’ah mengerjakannya bersama
imam, maka tak ada dosa baginya, karena imam adalah sutroh (penghalang)
bagi seluruh jama’ah. Wa billahit taufiq”. [Lihat Fatawa Ibnu Rusyd
(2/904)].
Pernyataan kedua ulama ini bukan tanpa dasar, bahkan berdasarkan
hadits dan atsar. Dengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutroh
(penghalang), maka hendaklah dia mendekat kepadanya. Maka setan tidak
akan memotong shalatnya.” [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (695), dan
An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (748). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (782)]
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

رَآنِيْ عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّيْ بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِيْ فَأَدْنَانِيْ إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا

“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung
memegang leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil
berkata, “Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam
Shahih-nya (1/577) secara mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushonnaf (7502)
Jadi, seorang masbuq diperintahkan untuk mendekat ke sutroh,
walaupun ia harus berjalan satu-dua langkah untuk mencari sutroh, baik
berupa tiang atau dinding dan lainnya, karena hadits di atas bersifat
umum mencakup makmum, masbuq, dan munfarid. Maka kelirulah sebagian
orang yang mengingkari sunnahnya berjalan bagi masbuq yang kehilangan
sutroh

Hukum Mencabut Uban

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sangat wajar jika seseorang menginjak usia senja, muncul pada kepala, wajah atau jenggotnya rambut putih, alias uban. Itulah fase kehidupan yang akan dilewati oleh setiap insan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)

Kadangkala memang kita ingin menghilangkannya, mencabutnya, atau mengganti warnanya dengan warna lain. Namun alangkah bagusnya jika setiap tindak-tanduk kita didasari dengan ilmu agar kita tidak sampai terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Sebuah petuah bagus dari Mu’adz bin Jabal yang harus senantiasa kita ingat:

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan berada di belakang ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni, hal. 15)

Jadi dalam masalah uban ini, marilah kita ikuti petunjuk syari’at Islam yang suci nan sempurna. Dengan mengikuti petunjuk inilah seseorang akan menuai kebahagiaan. Sebaliknya, jika enggan mengikutinya, hanya mau memperturutkan hawa nafsu semata dan menuruti perkataan manusia yang mencocoki hawa nafsu tanpa ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya orang seperti ini akan binasa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur: 54)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpegangteguhlah dengan ajaranku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama yang sudah tersohor namanya di tengah-tengah kita, yakni Imam Syafi’i mengatakan,

أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)

Uban adalah Cahaya Bagi Seorang Mukmin

Al Baihaqi membawakan sebuah pasal dengan judul “larangan mencabut uban”. Lalu di dalamnya beliau membawakan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة

Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah -yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban- dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.” Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة

Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Uban Tidak Boleh Dicabut

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ

Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban, namun bermakna ancaman.

Rambut uban mana yang dilarang dicabut?

Larangan mencabut uban mencakup uban yang berada di kumis, jenggot, alis, dan  kepala. (Al Jami’ Li Ahkami Ash Shalat, Muhammad ‘Abdul Lathif ‘Uwaidah, 1/218, Asy Syamilah)

Apa hukum mencabut uban apakah haram ataukah makruh?

Para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa mencabut uban adalah makruh.

Abu Dzakaria Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil. Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala (yaitu sama-sama terlarang). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/292-293, Mawqi’ Ya’sub)

Namun jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena perbuatan tersebut termasuk an namsh yang dilaknat.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لعن الله الربا و آكله و موكله و كاتبه و شاهده و هم يعلمون و الواصلة و المستوصلة و الواشمة و المستوشمة و النامصة و المتنمصة

Allah melaknat riba, pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui (bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu pula orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut.” (Diriwayatkan dalam Musnad Ar Robi’ bin Habib. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun mencabut uban dari jenggot atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah, maka perbuatan seperti ini diharamkan karena termasuk an namsh. An namsh adalah mencabut rambut yang tumbuh di wajah dan jenggot. Padahal terdapat hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan an namsh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 11/80, Asy Syamilah)

Kesimpulan: hukum mencabut uban dapat dikatakan haram karena ada dalil tegas mengenai hal ini, sedangkan mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah makruh. Namun sebagai seorang muslim yang ingin selalu mengikuti petunjuk Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak kehilangan cahaya di hari kiamat kelak, maka seharusnya seorang muslim membiarkan ubannya (tidak perlu dicabut). Dengan inilah dia akan mendapat tiga keutamaan: [1] Allah akan mencatatnya kebaikan, [2]  dan menghapuskan kesalahan serta [3] akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia. Namun, jika uban tersebut berada pada jenggot atau rambut yang tumbuh di wajah, maka ini jelas haramnya. Wallahu a’lam.

-bersambung pada pembahasan menyemir rambut, Insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Ghibah atau Nasihat?

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amma ba’du.

Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Pengertian Ghibah

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Keharaman Ghibah

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:

حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)

Ghibah yang Dibolehkan

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”

Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga bermanfaat.

Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa shahbihi ajma’iin.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Wanita Yang Berpakaian Tapi Telanjang

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun


An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.


Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.


Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.


Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.


Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.


Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.


Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.


Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)


Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini


Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!


Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ….

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Hukum Sutrah / Pembatas dalam sholat

Pendahuluan

Ketika kita shalat di masjid, kadang-kadang kita melihat orang shalat menghadap tembok. Lalu pada sebagian orang bertanya-tanya, shalat kok menghadap tembok, seperti menyembah tembok saja. Dari sini lalu banyak orang yang ketika shalat enggan mendekatkan sesuatu di hadapannya. Dan kadang-kadang lagi ada yang shalat membelakangi tembok belakang masjid, dan didepannya tidak ada batasannya.

Dari dua fenomena orang shalat yang kita lihat di sekitar kita, marilah kita menimbang mana yang lebih benar di antara keduanya. Agar timbangan kita adalah timbangan yang benar sesuai kaidah syara’, maka dalam menimbang kedua hal tersebut harus didasarkan kepada tuntunan sunnah rasulullah shalallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis yang kita bahas pada kesempatan kali ini akan kita jadikan acuan dalam timbangan tersebut, in sya’Allah.

Tentang hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab ash-Shalat, Bab ad-Dunuw min as-Sutrah (mendekat kepada sutrah). Imam an-Nasa’i menyebutkan hadis ini di dalam kitab al-Qiblah, Bab al-Amru bi ad-Dunuwi min as-Sutrah. Juga diriwayatkan oleh imam Ahmad di dalam kitab Musnad beliau pada bagian hadis dari para shahabat dari Madinah.

Ibnu Majah, di dalam Kitab ash-Shalah, bab Idra’ mas tatha’ta, meriwayatkan dengan teks yang sedikit berbeda;

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرَّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ

Dari Abu Sa’id, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Apabila salah seorangdi antara kalian shalat hendaklah shalat menghadap kepada sutrah, dan mendekat kepadanya, dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya, apabila seseorang datang lewat di depannya, hendaklah ditolak dengan sekuat tenaga, karena sesungguhnya ia adalh syetan.

Pengertian Sutrah

Secara bahasa kata sutrah berarti sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas, apa pun bentuknya.

Adapun secara istilah, sutrah bagi orang yang shalat adalah apa yang terletak atau diletakkan di hadapannya berupa dinding, tiang, tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat, guna mencegah orang yang akan lewat di depannya saat ia sedang shalat.

Definisi ini menunjukkan bahwa sutrah bagi orang yang shalat bisa berupa benda permanent yang ada di depan orang yang shalat, seperti dinding dan tembok. Bisa juga benda yang diletakkan tidak permanen, seperti tongkat yang ditancapkan, atau kursi yang diletakkan di depan orang shalat.

Hukum sutrah

Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum sutrah dalam shalat ini. Ada di antara mereka yang menyatakan sebagfai sebuah kewajiban, dan ada juga yang menyatakan hukumnya sunnah. Yang berpendapat hukumnya sunnah adalah mayoritas ulama’, berdasarkan beberapa hadis berikut.

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka shalatlah dengan sutrah, dan mendekatlah kepada sutrah itu. Dan jangan biarkan seorang pun lewat di depannya (HR Ibnu Majah)

Dalam teks yang lain diiungkapkan dengan

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ

“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak, perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah)

لِيَسْتَتِرْ أَحَدُكُمْ فِي صَلاتِهِ وَلَوْ بِسَهْمٍ

Hendaklah kalian memasang sutrah di dalam shalat, meskipun hanya dengan sebuah anak panah (HR ath-Thabrani, al-Hakim, dan Ibnu Abi Syaibah)

Perintah di dalam hadis-hadis di atas difahami sebagai sunnah karena ada hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat tidak memakai sutrah.

عَنِ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِى صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ

Dari fadll bin Abbas, ia berkata, Rasulullah pernah mendatangi kami ketika kami sedang di padang pasir, bersama beliau ada Abbas, lalu beliau shalat di tanah lapang dan di hadapan beliau tidak ada sutrah (HR Abu Dawud an-Nasa’i dan Ahmad, )

Tetapi hadis ini oleh al-Albani dinyatakan dla’if

Yang Bisa dijadikan Sutrah dalam Shalat

Pada prinsipnya yang bisa dijadikan sutrah adalah benda yang cukup tinggi, di antaranya adalah Tiang masjid, tembok, pohon, tempat tidur, pelana dan lain-lain

يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ كُنْتُ آتِي مَعَ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ فَيُصَلِّي عِنْدَ الْأُسْطُوَانَةِ الَّتِي عِنْدَ الْمُصْحَفِ فَقُلْتُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ أَرَاكَ تَتَحَرَّى الصَّلَاةَ عِنْدَ هَذِهِ الْأُسْطُوَانَةِ قَالَ فَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلَاةَ عِنْدَهَا

Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Aku datang bersama Salamah bin al-Akwa’ ra, lalu ia shalat pada tempat meletakkan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu memilih shalat pada tiang ini.’ Beliau menjawab: “Aku melihat Nabi saw memilih shalat di padanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ ، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ

“Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Ahmad)

Bolehkah sutrah dengan garis?

Ada sebagian ulama’ yang berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah, berdasarkan hadis.

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Al-Imam Al-Albani rh berkata dalam kitab Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Karena itulah ash-Shon’ani di dalam kitab Subulus Salam mengatakan Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah.

Benda yang boleh dijadikan sutrah adalah benda apa saja yang memiliki ketinggian sekitar 2/3 hasta. Batas ukuran ini berdasarkan hadis

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّى فَقَالَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

Aisyah ra berkata, “Nabi saw pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab: “Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw pernah bersabda:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim)

Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana binatang tunggangan, yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang binatang tersebut. Para ulama’ menjelaskan tingginya mu’khiratur rahl itu sekitar 2/3 hasta (satu hasta antara siku dengan ujung jari atengah).

Sutrah Bagi Makmum

Sunnahnya sutrah adalah bagi orang yang shalat seorang diri dan imam. Adapun makmum tidak ada sunnah untuk meletakkan sutrah, sebab sutrah dalam shalat menjadi tanggung jawab imam. Dalil yang menyelisihi hal ini adalah

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Dari Abdullah bin Abbas ra ia berkata :“Saya datang dengan mengendarai keledai dan saat itu saya sudah ihtilam (baligh) dan Rasulullah saw sedang melaksanakan shalat bersama orang-orang di Mina. Maka saya melewati bagian depan shaf, kemudian saya turun, kemudian saya membiarkan keledai makan rumput dan saya masuk ke dalam shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut” (HR. Al-Bukhari)

Imam al-Bukhari menempatkan hadis tersebut di bawah judul, Bab Sutratul Imam sutratu man khalfahu (sutrah imam menjadi sutrah bagi yang ada di belakangnya).

Mendekat ke Sutrah

Hadis di atas juga memerintahkan supaya kita berusaha untuk mendekat ke sutrah. Jarak antara orang yang shalat dengan sutrah tidak boleh lebih dari 3 hasta, (1 hasta = ukuran dari ujug jari tengah hingga siku) berdasarkan hadis

عَنْ سَهْلٍ قَالَ كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ

Dari Sahl ia berkata, antara tempat shalat Rasulullah saw dengan tembok adalah seukuran tempat lewat kambing (al-bukhari dan Muslim)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلْتُ بِلَالًا أَيْنَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ قَالَ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ ثَلَاثَةُ أَذْرُعٍ

Dari Ibnu umar, ia berkata; Aku bertanya kepada Bilal, di manakah Rasulullah saw bmelakukan shalat ketika masuk ke dalam Ka’bah? Bilal menjawab, ”Beliau shalat antara beliau dengan tembok sejauh tiga hasta” (HR Ahmad)

Jarak itulah yang dibutuhkan oleh orang yang shalat untuk melakukan ruku’ dan sujud.

Lewat di antara orang shalat dengan sutrah

Di dalam hadis ini dijelaskan bahwa hikmah sutra adalah agar shalat tidak terputuskan oleh syetan. Sedangkan syetan yang dimaksudkan adalah orang yang lewat di antara orang yang shalat dengan sutrah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dengan demikian, melewati antara orang shalat dengan sutrah adalah haram, dan pelakunya berdosa.

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Kalau seandainya orang yang lewat di depan orang shalat mengetahui (keburukan) apa yang dia dapatkan maka berdiri menanti empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di depannya (HR al-Bukhari dan Muslim)

Makna hadis ini adalah lewat didepan orang shalat, di antara orang yang shalat dengan sutrah. Jika orang yang shalat tidak mengunakan sutrah, maka ia lewat di tempat yang dibutuhkan untuk shalat (harimush-shalat). Sebagian ulama’ berpendapat, sejauh tiga hasta.

Tetapi jika seseorang lewat di luar sutrah, maka ulama’ sepakat tidak ada dosa baginya.

Oleh: Ustadz Budi Prasetyo

Staff Pengajar Ponpes As Salam, Pabelan

26 Des 2010

Kajian 28 Desember 2010 Ustadz Abdullah Taslim

info

بسم الله ، انشاءالله

Kajian Bersama
Ustadz Abdullah Taslim. MA

Beliau salah satu pengisi kajian di Radio Rodja, materi asma wa sifat Allah سبحانه وتعالی

tema:
MENGENAL KEAGUNGAN ASMA WA SIFAT ALLAH سبحانه وتعالی

waktu:
28 Desember 2010, ba'da isya

tempat
Masjid Al Amin Jl.Tambakbaya Anjun
Karawang, Jawa Barat

khusus ikhwan

.
العلم نور
ilmu itu cahaya

Kesesatan Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin (Sururi)

Oleh
Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr Hafizhahullah

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr ditanya : “Kita telah mengetahui bahwa
dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang bersih dan benar. Tetapi sangat
disayangkan telah datang pencemaran nama dan keburukan dari pihak lain.
Seperti dari Sururiyyin (para pengikut surur). Maka bagaimanakah Sururiyyah
(pemahaman surur) itu? Dan apakah kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip faham
Sururiyah itu, agar kita dapat mengetahui dan menghukuminya?”

Jawaban:
Sururiyah (pemahaman Surur) adalah Jama’ah Hizbiyyah. Muncul pada
tahun-tahun terakhir ini. Tidak dikenal kecuali pada seperempat akhir abad
ini. Karena semenjak dahulu hingga sekarang, ia berselimut Salafiyyah. Pada
hakekatnya, Sururiyah memiliki prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin, bergerak
secara sirriyah (sembunyi-sembunyi/rahasia). Merupakan pergerakkan politik,
takfir, mencela dan menyindir para ulama Rabbaniyyin, seperti Imam-imam kita
yang tiga: Bin Baaz, Al-Albani dan Utsaimin. Menuduh mereka sebagai ulama
haidh dan nifas. Setelah perang Teluk II serangannya terhadap dakwah
Salafiyyah secara terang-terangan, bertambah keras baik secara aqidah dan
pemberitaan. Sampai menuduh para masyayikh dan ulama kita bahwa mereka tidak
mengetahui waqi’ (situasi dan kondisi/kenyataan), ilmunya dalam perkara
nifas dan wanita-wanita nifas. Mereka sesuai dengan ahli bid’ah zaman
dahulu, yang mengatakan: “Fiqh (Imam) Malik, Auza’i dan lainnya tidak
melewati celana perempuan.” Alangkah besar dosanya. Kalimat yang keluar dari
mulut mereka.

Orang yang tidak menghormati para ulama, dia adalah para penyeru fitnah.
Orang-orang yang merendahkan Al-Albani, Bin Baz dan Utsaimin di zaman kita,
maka dia tenggelam (di dalam kesesatan), pembuat fitnah, dia berada di
pinggir jurang yang dalam. Karena dia berkehendak memalingkan wajah manusia
kepadanya dan menghalangi manusia dari para ulama dan imam mereka yang
Rabbani.

Sehingga walaupun mereka mengaku beraqidah Salafiyyah, tetapi manhaj mereka
Ikhwani. Bahkan (mungkin) mereka lebih berbahaya dari Ikhwanul Muslimin,
karena mereka berbaju Salafiyyah.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mereka diberi petunjuk menuju jalan
yang lurus, dan agar kelak mereka bersama dengan Salafiyyah yang murni, yang
para Sahabat Rasulullah dan para tabi’in berada diatasnya.

Tambahan Redaksi Majalah As-Sunnah:

Sururiyah adalah nisbat kepada seseorang yang bernama Muhammad Surur bin
Nayif Zainal Abidin. Dia pernah menjadi guru di Arab Saudi dalam waktu yang
cukup lama, sehingga memungkinkan menjalankan rencananya dan menyebarkan
racunnya di tengah-tengah para pemuda. Tetapi setelah nampak keburukan
niatnya, dia pergi, lalu bermukim di kota London, Inggris, sebuah negara
kafir.

Di antara kesesatan dan penyimpangan Muhammad Surur ini adalah:

[1.] Merendahkan Kitab-Kitab Aqidah Salafiyyah Dan Berlebihan Dengan Fiqhul
Waqi’.

Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya fi Dakwah Ila Allah I/8: “Aku
memperhatikan kitab-kitab aqidah, maka aku lihat kitab-kitab itu ditulis
bukan pada zaman kita. Sehingga kitab-kitab itu sebagai solusi berbagai
permasalahan dan kemusykilan pada zaman ditulisnya kitab-kitab tersebut.
Sedangkan pada zaman kita terdapat berbagai kemusykilan yang membutuhkan
solusi yang baru. Kerena itulah model kitab-kitab aqidah itu sangat kering,
karena hanya berisi nash-nash dan hokum-hukum. Karena inilah kebanyakan
pemuda berpaling darinya dan tidak menyukainya.”

Perkataan orang ini tentulah sangat menyesatkan, karena kitab-kitab aqidah
yang berisi nash-nash dan hukum-hukum merupakan kebenaran hakiki. Sedangkan
berpaling darinya akan menjerumuskan kepada pendapat si Fulan dan Fulan yang
tidak jelas kebenarannya.

[2.] Beraqidah Takfir Bil Ma’shiyah, Yaitu Mengkafirkan Kaum Muslimin Dengan
Sebab Maksiat.

Dia mengkafirkan para penguasa zhalim, sehingga dia banyak mencela para
penguasa dan menerjuni medan politik ala Barat!

Dia berkata di dalam majalahnya yang terbit di London, majalah As-Sunnah no:
26, Jumadal Ula 1413H, hal: 2-3 (Tidak ada hubungan sama sekali dengan
Majalah As-Sunnah kita ini): “Dizaman ini perbudakan memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbentuk piramida:

Tingkatan Pertama:
Presiden Amerika Serikat, George Bush, duduk bersila di atas singgasananya,
yang besok akan diganti Clinton.

Tingkatan Kedua:
Tingkatan penguasa negara-negara Arab. Mereka ini berkeyakinan bahwa
kebaikan dan bahaya mereka di tangan Bush (Bagaimana dia bisa memastikan
aqidah mereka seperti itu? Apakah dia telah membedah dada mereka? Atau
mereka memberitahukan kepadanya? Maha suci Engkau wahai Allah, sesungguhnya
hal ini merupakan kedustaan yang besar!-red). Oleh karena inilah mereka
berhajji kepada (mengunjungi) nya, serta mempersembahkan nadzar-nadzar dan
kurban-kurban (Perkataan ini merupakan pengkafiran secara nyata kepada
Penguasa yang zhalim! -red).

Tingkatan Ketiga:
Para pengiring penguasa negara-negara arab, dari kalangan menteri, wakil
menteri, komandan tentara, dan para penasehat. Mereka ini bersikap nifaq
kepada tuan-tuan mereka, menghias-hiasi segala kebatilan dengan tanpa malu
dan ahlaq.

Tingkatan Keempat, Kelima dan Keenam:
Para penjabat tinggi pada kementerian. Sesungguhnya perbudakan pada zaman
dahulu sederhana, karena seorang budak memiliki seorang tuan secara
langsung, tetapi sekarang perbudakan itu kompleks. Aku tidak habis fikir,
tentang orang yang membicarakan tauhid, tetapi mereka adalah budak-budak,
yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang
dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak. Tuan mereka yang
akhir adalah seorang Nashrani (Alangkah keji dan lancangnya perkataan yang
ditujukan kepada para ulama yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala –red).
Perkataan orang ini dengan jelas menunjukkan kesesatan dan kedustaan yang
nyata!.

[3.] Juga Mengkafirkan Rakyat Karena Maksiat Yang Mereka Lakukan.

Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya’ Fi Dakwah ila Allah I/158:
“Tidaklah aneh jika problem laki-laki mendatangi laki-laki (homo seksua)
merupakan permasalahan paling penting di dalam dakwah Nabi Luth. Kerena
seandainya kaumnya menyambut dakwahnya untuk beriman kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya, maka sambutan mereka itu tidak ada maknanya, jika mereka
tidak meninggalkan kebiasaan keji yang telah mereka sepakati itu.”

Itulah aqidah sesat Surur! Adapun aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap
pelaku dosa besar telah mansyur, yaitu tidak keluar dari iman, tetapi
imannya berkurang, dan dia dikhawatirkan terkena siksaaan Allah Ta’ala.

[4.] Memusuhi Dan Mencela Para Ulama Ahlus Sunnah As-Salafiyyin.

Dia berkata di majalahnya yang terbit di London, Majalah As-Sunnah no. 23,
Dzulhijjah-1412 H hal. 29-30: “Dan jenis manusia yang lain (Yang dimaksudkan
adalah para ulama Arab Saudi –red) mengambil (yakni mengambil bantuan resmi)
dan mengikatkan sikap-sikap mereka dengan sikap para tuan mereka (yang
dimaksud dengan tuan mereka disini adalah para penguasa Arab Saudi). Maka
jika sang tuan minta bantuan Amerika (Dia membicarakan masalah permintaan
tolong kepada Amerika pada waktu perang teluk-red), para budak pun berlomba
mengumpulkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan ini, dan mengingkari
orang-orang yang menyelisihi mereka. Jika sang tuan berselisih dengan Iran
Rafidhah, para budakpun membicarakan kebusukan Rafidhah. Dan jika
perselisihan berhenti, para budakpun diam dan berhenti membagikan buku-buku
yang diberikan kepada mereka. Jenis manusia ini: mereka berdusta,
memata-matai, menulis laporan-laporan, dan melakukan segala sesuatu yang
diminta oleh sang tuan kepada mereka. Mereka ini jumlahnya sedikit
–al-hamdulillah-, mereka adalah orang-orang asing di dalam dakwah dan amal
islami. Dokumen mereka telah terbongkar, walaupun mereka memanjangkan
jenggot, memendekkan pakaian, dan menyangka sebagai penjaga sunnah. Adanya
jenis manusia tersebut tidaklah membahayakan dakwah Islam. Kemunafikan sudah
ada sejak dahulu….”

Alangkah sesatnya perkataan ini, karena memperolok-olok sunnah Nabi dapat
membawa kepada kekafiran! Membenci ulama Ahlus Sunnah adalah ciri utama Ahli
Bid’ah! Dan kesesatan-kesesatan lainnya.

Lihat:
[1] Fitnah Takfir Wal Hakimiyah, hal: 93, Karya: Muhammad bin Abdullah
Al-Husain.
[2] Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As-ilah Al-Manhaji Al-Jiddah, Bagian Pertama
hal. 45-48
[3] Nazharat Fi Kitab Manhajul ambiya’ Fi Dakwah ila Allah, karya : Syaikh
Ahmad Sallam.
[4] Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuuha, karya: Abu Ibrahim Ibnu Sulthan
Al-‘Adnani
[5] Al-Irhab, Karya: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Makhdali.
[6] Dan lain-lain.

Kemudian dari Majalah Al Furqon, Gresik

Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan terus berlanjut hingga hari kiamat, masing-masing dari kebenaran dan kebatilan memiliki penyeru dan pembela. Penyeru kebenaran berusaha menyelamatkan umat dan membawanya ke jalan yang lurus agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan penyeru kebatilan berusaha menyesatkan dan merusak umat agar mereka celaka.

Merupakan hal yang menakjubkan bahwa penyeru kebatilan menampakkan diri kepada umat bahwa mereka adalah du’at Salafiyyin untuk mengelabui umat sehingga mengikuti pemikiran-pemikiran mereka dan menganggap baik manhaj mereka.

Mereka gunakan perkataan-perkataan yang mujmal (global) dan samar yang mengandung seribu makna, tercampur di dalamnya yang haq dan batil. Inilah cara-cara ahlu bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak mungkin di terima oleh manusia, setiap orang akan bersegera membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka itu bukanlah merupakan bid’ah, tetapi adalah sunnah. Maka bid’ah tersebar di kalangan manusia awam karena mengandung kebenaran dan kebatilan. Di antara kelompok yang sangat lihai mengelabui umat dengan kalimat-kalimat yang sangat mujmal dan samar adalah kelompok sururiyyah. Kelompok ini lebih berbahaya di bandingkan kelompok sesat lainnya karena lebih sulit dideteksi kesesatannya, tetapi Allah tidak membiarkan gerakan mereka, Allah siapkan pasukan-pasukanNya dari para pembela Sunnah untuk membeberkan kepada umat makar-makar dan membuka kedok-kedok mereka.

Dalam bahasan ini kami meminta taufik kepada Allah untuk menukil sedikit dari penjelasan para ulama tentang keadaan mereka dengan harapan bisa ikut menyumbangkan saham dalam membentengi umat dari kejahatan mereka.

Organisasi Kelompok Sururiyah

Kelompok ini dimotori Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, pendiri yayasan Muntada Al-Islami yang berpusat di london Inggris. Dia juga pendiri dari redaktur majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah dan majalah Al-Bayan bersama Muhammad Al-Abduh, Muhammad Mis’ary dan kawan-kawannya. Muhammad Surur adalah kelompok yang masyhur dengan penyimpangan dan permusuhan mereka kepada para ulama salaf di dalam majalah mereka yang terbit dari London dan dalam tulisan-tulisan mereka.

Kelompok ini merupakan jamaah yang terorganisir rapi sebagaimana di katakan Muhammad Surur kepada Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, “Kami tidak menyembunyikan kepada kalian bahwa kami adalah sebuah jamaah, kami loyal kepada setiap muslim dan kami tidak taa’shshub.” (Risalah Syaikh Muqbil kepada Syaikh Abdullah bin Ubailan sebagaimana dalam kitab Al-Quthbiyyah cet. 2 hal. 158).

Tujuan Utama Kelompok Sururiyyah

Tujuan utama kelompok sururiyyah adalah mendirikan dan merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara islam), mereka berkata, “Gerakan-gerakan islam yang ada sekarang ini adalah seperti kumpulan pasukan yang mengumpulkan umat dengan perbedaan pemikiran-pemikirannya, untuk menanggulangi fitnah kekufuran… maka gerakan-gerakan islam ini adalah pengganti Daulah Islamiyyah…” (Madkhal Ila Tarsyid ‘Amal Islamy hal. 116 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 20).

Salman Al Audah berkata, “Daulah Khilafah berlangsung lebih dari 13 abad… adapun realita sekarang ini, maka sangat menyedihkan karena semua misal yang dipandang mata adalah misal-misal yang tidak Islami…” (kaset Ummah Ghaibah?! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).

Safar Al Hawaly berkata: “Kita sangat merindukan Afghanistan akan menjadi batu pertama bagi Daulah Islamiyyah…” (Syarh Thahawiyyah 266/2 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).

Referensi Kelompok Sururiyyah

Di samping majalah Al Bayan oleh Al Abduh dan majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah oleh Surur, kelompok ini memiliki referensi-referensi yang diharuskan kepada pengikutnya untuk membacanya dengan urutan-urutan yang rapi dan seragam, di antara referensi-referensi mereka adalah, Kitab-kitab Sayyid Quthb seperti Fi Zhilalil Qur’an, ‘Adalah Ijmaiyyah, Ma’rakatul islam wa Ra’sumaliyyah, dan Ma’alim Fi Thariq, Mausu’ah Haraqiyyah oleh Fathi Yakan, Munthaliq, ‘Awaiq, dan Bawariq oleh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid (nama samaran dari Abdul Mun’im bin Shalih Al-illy Al-’Izzy), Harakatun Nafs Zakiyyah oleh Muhammad Al-Abduh, Ahlussunnah wal Jamaah Ma’alim Inthilaqatil Kubra oleh Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry, Jahiliyyah Abad 20 oleh Muhammad Quthb, Al-Islam Al-Hadits oleh Jamal Sulthan, Wa Ja’a Daurul Majus oleh Abdullah Muhammad Al Gharib (nama samaran dari Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin!), Da’wah Islamiyyah Faridhan Syar’iyyah oleh Shadiq Amin (nama samaran dari Abdullah Azzam) dan masih banyak lagi yang senafas dengan kitab-kitab di atas.

Penyimpangan Kelompok Sururiyyah

Kelompok ini memiliki ciri-ciri khas, kesesatan dan penyimpangan dari manhaj yang lurus, manhaj Salafus Shalih. Di antara penyimpangan-penyimpangan mereka adalah berikut:

Pertama, kebencian mereka kepada kitab-kitab Aqidah. Muhammad Surur berkata, “Aku melihat kitab-kitab aqidah, ternyata kitab-kitab itu ditulis bukan pada zaman kita, kitab-kitab itu adalah solusi untuk beberapa problematika pada saat kitab-kitab itu di tulis, sedangkan zaman kita sekarang ini membutuhkan solusi-solusi yang baru, dari sinilah maka gaya bahasa dari kitab-kitab aqidah banyak yang kering, karena hanya terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum…” (Manhajul Anbiya fi Da’wah Ilallah 1/8). Ucapan ini telah di bantah oleh para ulama seperti Syaikh Ibnu Baz, Al-Albani, Al-Fauzan, sebagaimana nanti akan kami sebutkan.

Kedua, kecenderungan mereka kepada pemikiran Khawarij. Hal ini nampak pada pemikiran takfirnya, yaitu mengafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan yang dia lakukan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat.

Adapun pengafirannya pada para penguasa muslim maka tampak jelas pada tulisan-tulisannya di majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah yang terbit dari London Inggris. Adapun pengafirannya kepada kaum muslimin secara umum maka tampak pada perkataannya di kitabnya Manhajul Anbiya Fi Da’wah Ilallah 1/158, “Kaum Luth jika menerima ajakan Nabi mereka agar beriman kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan maka hal itu tidaklah bermakna bagi mereka, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaan buruk mereka dari mendatangi sesama jenis yang mereka sepakat melakukannya.”

Demikianlah Muhammad Surur mengafirkan pelaku dosa besar secara mutlak walaupun pelakunya tidak menghalalkannya. Ucapan di atas telah di bantah oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Fauzan dalam kaset “Pentingnya Tauhid”. (Madarikun Nadzhar hal. 120 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani).

Mereka juga membolehkan khuruj (memberontak) terhadap waliyyul amr dan juga menghalalkan provokasi dan agitasi terhadap pemerintah muslim sebagaimana dikatakan oleh Salman Al-Audah dalam kasetnya Humum Multazimah dan yang lainnya. (Untuk membantah syubhat ini lihat “Fitnah Takfir” oleh Syaikh Al-Albani yang dimuat dalam majalah Al-Furqon edisi 10 th. II hal. 36-41).

Ketiga, permusuhan mereka yang sangat kepada para ulama Salafiyyin. Muhammad Surur mengatakan tentang para ulama Salafiyyin di Saudi Arabia, “Mereka ini selalu membuat kedustaan, memata-matai, menulis ketetapan-ketetapan dan melakukan segala sesuatu yang diminta majikannya… dan jumlah mereka sedikit -walhamdulillah-, dan mereka adalah para penyelundup dalam dakwah dan aktivitas islam… walaupun mereka ini memanjangkan jenggotnya dan memendekkan celananya, dan menganggap diri mereka adalah para pembela sunnah…” (Majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah edisi 23. bulan Dzulhijjah 1412 H, Hal 29-30).

Muhammad Mis’ary berkata, “Aku tidak pernah menyinggung aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab, aku hanya menyebutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang yang lugu dan bukan seorang Ulama!!!…”

Muhammad Mis’ary berkata, “Pendapatku pribadi bahwa Syaikh Ibnu Bazz telah sampai pada fase kerusakan akal karena usia tua… tetapi aku tidak melihat kufur bawwah (nyata) padanya…” (pernyataan Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London kamis 22/10/1415 H bertepatan dengan 23/3/1995 M).

Salman Al-Audah menuduh para ulama saudi seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin bukanlah rujukan ilmiah yang shahih dan terpercaya. (Majalah Al-Ishlah Al-Imaratiyyah edisi 223-228/ 1-3/12/1992 hal. 11).

Safar Al-Hawaly menuduh para ulama Saudi Seperti Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin tidak mengerti waqi’ (Realita umat) (kaset Fafirru II).

Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa Syaikh Al-Allamah Al-Mufassir Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy adalah perpustakaan yang berjalan tetapi sudah usang cetakannya sehingga perlu direvisi! (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 78 sebagaimana dalam jama’ah wahidah hal. 41 oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al Madkhali). Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa ulama Salafiyyin adalah ulama haidh dan nifas. (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 40).

Sungguh alangkah kotornya ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Ingatlah wahai saudaraku bahwa mencela ulama termasuk tanda-tanda Ahli Bid’ah dari dulu hingga sekarang (Lihat tulisan penulis “Urgensi Ilmu dan Ulama” dalam Majalah Al-Furqon edisi 6 th II).

Keempat, loyalitas Mereka kepada Ahli Bid’ah Dan musuh-musuh Islam. Mereka memuji dan mengelu-elukan Hasan At-Turabi As-Sudani, penentang hadits Rasulullah, demikian juga Ayatusy Syiah Khomeini Ar-Rafidhi Al Mal’un (yang terlaknat-red) mereka katakan sebagai imam dan tokoh sejarah yang agung dan jenius. (pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M)

Kelima, celaan Mereka Kepada Para Sahabat. Muhammad Mis’ari berkata, “Aku menganggap Mu’awiyyah adalah perampas kekuasaan, dan dia akan mendapat balasan kejahatannya dari Allah pada hari kiamat, tetapi aku tidak mengafirkannya…” (Pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M). Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan mereka dari manhaj yang lurus yang tidak bisa kita sampaikan di sini karena keterbatasan tempat, tetapi dari uraian singkat di atas Insya Allah bisa dinilai siapa mereka.

Keenam, hubungan kelompok sururiyyah dengan Sayyid Quthb. Membicarakan kelompok Sururiyyah tidak lepas dari Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, karena tokoh-tokoh kelompok Sururiyyah adalah para pemuja, pembela Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Surur dalam kitabnya Dirasat fi Shirah Nabawiyyah hal. 321-323, “Sayyid Quthb dizalimi oleh dua kelompok manusia, dizalimi oleh sebagian murid-muridnya dan pengagumnya karena mereka sangat kagum kepadanya, kagum pada keteguhannya di atas kebenaran dan kesabarannya menerima ujian di jalan Allah, kagum dengan keluasan wawasannya kebersihan fitrahnya, dan kedalaman pengetahuannya dan kami menyertai mereka dalam ini semua… Adapun kelompok lain, maka mereka tidak menyebut Sayyid Quthb kecuali dari segi kesalahan-kesalahan ilmiahnya, ada yang mengatakan dia Asy’ari, ada yang menyebutkan dia adalah penyeru wihdatul wujud, dan ada lagi yang menyatakan dia adalah tergolong kelompok khawarij yang ghuluw. Tidaklah Sayyid Quthb seorang Asy’ari dan tidak juga seorang shufi, dia adalah seorang sastrawan murid dari para ahli sastra, ketika dia menempuh jalan para da’i dia mengubah haluan menulis ilmu-ilmu islam seperti tauhid, tafsir dan lain-lain. maka Allah memberi taufik kepadanya dari tulisan-tulisannya… Tidaklah Sayyid Quthb tergolong pengikut pemikiran khawarij… tidak juga termasuk kelompok Mu’tazilah…”

Kami katakan, Sayyid Quthb adalah seorang Asy’ary dia menafsirkan Istiwa dengan “kekuasaan” sebagaimana dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an (1/53, 1/54, 3/ 1296, 3/1762, 4/2045 dan 5/2807), dia juga penyeru kepada wihdatul wujud sebagaimana dalam perkataannya dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 6/4002, “Dialah wujud yang satu, tidak ada di sana hakekat kecuali hakekatNya, tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujudNya…”

Sayyid Quthb juga seorang shufi sebagaimana dalam perkataannya dalam Fi Dzilalil Qur’an 6/3291, “Di sana ada orang yang beribadah kepada Allah karena mereka mensyukuri nikmat-nikmatNya yang tidak terhitung, tidak melihat di balik itu surga atau neraka…”

Sayyid Quthb juga penganut paham Khawarij yang mengafirkan masyarakat islam secara keseluruhan sebagaimana dikatakan oleh muridnya Dr. Yusuf Al-Qardhawy, “Pada fase ini muncullah kitab-kitab Asy Syahid(?!) Sayyid Quthb yang mewakili fase terakhir dari pemikirannya yang menghasilkan pengafiran masyarakat… dan pencanangan jihad ofensif kepada seluruh manusia.” (‘Aulawiyah Harakatul Islamiyyah hal. 110 dari perkataan Sayyid Quthb dalam masalah ini dalam dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 2/1057).

Barang siapa yang ingin mengenal lebih lanjut pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb untuk membentengi diri kita darinya, hendaklah membaca kitab Mauriduz Zilal fi Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwaisi, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ Al-Madkholi seperti Adhwa’ Islamiyyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb fi Ashaabi Rasulillah, dan Al-’Awashim Mimma Fi Quthb Minal Qowasim. Di sana akan tampak bahwa dia mencela Sahabat Nabi Musa, mencela para sahabat, mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluk, menganut paham hulul dan jabariyyah, menolak sifat-sifat Allah dengan menempuh cara-cara jahmiyyah, menolak hadits-hadits shahih dalam masalah aqidah, mengimani paham sosialisme dan lain-lain…

Setelah ini semua, pantaskah ia di puja, dan di jadikan imam?! Demi Allah tidak, kecuali seorang yang hati dan akalnya telah terbakar oleh kultus individu dan fanatis buta, seperti tokoh-tokoh kelompok sururiyyah seperti Muhammad Surur dalam beberapa perkataannya di atas, Muhammad Shalih Al Munajjid dalam risalahnya Arba’una Nashihatan Liislahil Buyut hal. 23-25, Aidh Al-Qarni dalam kitabnya Lahnul Khulud hal.20, Salman Al-Audah dalam kasetnya Taqwimmul Rijal, dan masih banyak lagi dari kalangan mereka. Karena inilah maka kelompok Sururiyyah tidak ada bedanya dengan kelompok Quthbiyyah (penganut pemikiran Sayyid Quthb) yang lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah takfir yang lain. (Diambil dari majalah Al-Furqon edisi 2 tahun IV Ramadhan 1425 H).

Sarana-Sarana Sururiyyah

Kelompok ini memiliki tiga sarana utama untuk melariskan pemikiran mereka, tiga sarana ini adalah:

Pertama, Manhaj Muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. (Masalah ini telah kami bahas dalam Majalah Al-Furqon edisi 8 th. III hal 29-30 dengan judul “Ketimpangan Manhaj Muwazanah”).

Kedua, Fikih Waqi’, yaitu fikih politik barat, dan memahami program rahasia mereka terhadap islam dan kaum muslimin. Tujuan pencetusan fikih waqi’ ini adalah mengangkat orang-orang barisan mereka ke barisan para ulama dan sekaligus merendahkan citra para ulama dengan slogan ini, yakni para ulama tersebut tidak memahami waqi’ (Masalah ini juga telah kami bahas dalam majalah Al-Furqon Edisi 10 th. III hal. 22-26 dengan judul “Fiqh Waqi/pemahaman Realita”).

Ketiga, tatsabut, yaitu mengelabui umat bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu meneliti dengan cermat semua berita-berita yang sampai, dengan cara ini mereka melariskan pemikiran-pemikiran mereka dan menghindar dari segala macam bantahan dan kritikan kepada mereka. Sarana ini digunakan mereka sebagai senjata pembelaan dan sekaligus senjata untuk menyerang, senjata untuk membela pemikiran-pemikiran, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan mereka, dan sekaligus menyerang siapa saja yang mengkritik dan menjelaskan kesalahan mereka.

Semua sarana ini mereka suguhkan kepada umat dengan bentuk yang mujmal (global), dengan kalimat-kalimat samar yang mengandung kebenaran dan kebatilan, dengan kebatilan dari kalimat-kalimat ini mereka hantam kebenaran, inilah cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana di jelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah 3/925, Allah telah melarang cara-cara seperti ini dalam kitab-Nya:

وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jangan kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42)

Karena inilah -wahai saudara-saudaraku- waspadalah dan hati-hatilah terhadap kelompok sururiyyah ini! mereka adalah kelompok yang menyebarkan kebatilan dengan cara terselubung, mereka tidak segan-segan menerbitkan dan mencetak kitab-kitab ulama salafiyyin dan membagi-bagikannya pada acara-acara mereka, tetapi dengan menyelipkan dan membagikan bersamanya tulisan gembong-gembong mereka, dengan cara itu mereka kelabui umat bahwa pemikiran-pemikiran gembong-gembong mereka adalah sama dengan pemikiran-pemikiran ulama-ulama Salafiyyin. (Al-Quthbiyyah hal. 158).

Mereka mengerahkan segala upaya untuk mengelabui tokoh-tokoh salafiyyin sehingga bergabung dengan mereka, sebagaimana hal ini terjadi pada Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Jibrin yang sempat mereka tarik dalam Jam’iyyah mereka yang bernama Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, tetapi hal ini tidak berlangsung lama -walhamdulillah- beliau segera mengumumkan bahwa beliau berlepas diri dari mereka sebagaimana dalam fatwa beliau pada tanggal 23 Rabi’ul Awal 1415 H.

Waspadalah wahai para du’at salafiyyin terhadap mereka, mereka berusaha dengan segala cara untuk menarik kalian dalam barisan mereka, untuk mengelabui umat bahwa mereka adalah salafiyyin bukan quthbiyyin!!

Kontradiksi Perkataan dan Sikap Kelompok Sururiyyah

Kelompok Sururiyyah adalah para “da’i politik”, maka perkataan-perkataan dan sikap-sikap mereka penuh kontradiksi sebagaimana para politikus pada umumnya, di antara kontradiksi mereka adalah:
  1. Mereka melarang pemerintah Saudi Arabia meminta-minta bantuan orang-orang musyrik untuk menahan kebrutalan Saddam Husein, kemudian mereka mengatakan boleh meminta bantuan kepada kaum Rafidhah dan komunis untuk menahan Kabul dari serangan Amerika!!!
  2. Mereka melarang orang-orang Kuwait meminta bantuan orang-orang musyrik untuk mengusir dan mengeluarkan Saddam Husein yang menduduki Kuwait, kemudian mereka membolehkan diri-diri mereka meminta suaka politik ke negeri kafir, bahkan kemudian bermukim di negeri kafir, bahkan dengan resmi menjadi warga negara kafir!
  3. Mereka menyerukan keadilan terhadap semua makhluk, termasuk kaum komunis dan syaitan, dan mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan dan keburukan mereka, tetapi hal ini tidak mereka lakukan terhadap para ulama-ulama Salafiyin yang berseberangan dengan mereka, mereka cela para ulama Salafiyin dan mereka juluki dengan julukan-julukan yang keji.

Komentar Para Ulama Tentang Kelompok Sururiyyah

Komentar Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:

Ketika di sebutkan kepada Samahatusy Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul ‘Anbiya fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Ini adalah kesalahan yang besar… kitab-kitab aqidah yang benar bukanlah kering, di dalamnya Firman Allah dan sabda Rasulullah… jika dia mensifati Al Quran dan As-Sunnah bahwa keduanya kering maka ini adalah kemurtadan dari Islam, ini adalah ungkapan yang rusak dan keji.”

Dan beliau ditanya tentang hukum menjual kitabnya, maka beliau menjawab: “Kalau pada kitab tersebut ada ucapan ini maka tidak boleh dijual dan wajib dirobek.” (Dari kaset muhadharah berjudul Afatul Lisan di kota Thaif tanggal 29/12/1413 sebagaimana dalam Ajwibah Mufidah hal. 57).

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengomentari Muhammad Mis’ari, juru bicara resmi mereka: “…termasuk orang-orang dengki dan jahil yang menjual agama dan amanahnya kepada Syaitan seperti Muhammad Mis’ary.” (Koran Al-Muslimun edisi 543 tanggal 2 shafar 1416 H sebagaimana dalam Madarikun Nadhar hal 218).

Komentar Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani:

Ketika disebutkan kepada beliau perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Adakah seorang muslim mengucapkan ucapan seperti ini?” (Al-Maqalat As-Salafiyyah hal. 25 oleh Syaikh Salim al-Hilaly).

Komentar Syaikh Al-Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan:

Ketika disebutkan kepada Fadhilatus Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Orang ini -Muhammad Surur- hendak menyesatkan para pemuda islam dengan perkataannya ini, memalingkan mereka dari kitab-kitab aqidah yang shahihah dan dari kitab-kitab salaf, dan dia arahkan para pemuda islam kepada pemikiran-pemikiran baru, dan kitab-kitab baru yang banyak mengandung syubhat-syubhat.

Kitab-kitab aqidah menurut Muhammad Surur kelemahannya adalah karena terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum, di dalamnya ada perkataan Allah dan perkataan Rasulullah, sedangkan dia menginginkan pemikiran fulan dan fulan, dan tidak ingin nash-nash dan hukum-hukum. Maka wajib atas kalian -kaum muslimin- mewaspadai selundupan-selundupan pemikiran batil ini, yang bertujuan memalingkan para pemuda kita dari kitab-kitab salaf yang shalih.

Alhamdulillah kita telah cukup dengan peninggalan-peninggalan Salafusalih seperti kitab-kitab aqidah, dan kitab-kitab dakwah, bukan dengan gaya bahasa yang kering -seperti disangka oleh Muhammad Surur-, bahkan dengan gaya bahasa yang ilmiah dari Kitabullah dan dari Sunnah Rasul-Nya, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadits yang lainnya, kemudian kitab-kitab sunan, seperti kitab As-Sunnah oleh Ibnu Abi Ashim, Asy-Syari’ah oleh Al-Aajury, As-Sunnah oleh Abdullah bin Al-Imam Ahmad, kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, dan kitab-kitab Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Wajib atas kalian untuk mengmbil dari kitab-kitab ini. Maka aqidah tidak boleh diambil kecuali dari nash-nash kitab dan Sunnah, bukan dari pemikiran fulan dan fulan.” (Ajwibah Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah hal. 55-56).

Komentar Syaikhuna Al Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad:

Beliau berkata mensifati Muhammad Surur: “Orang yang dengki terhadap ulama ahli sunnah.” Beliau juga mengomentari Muhammad Mis’ari: “Dia adalah seorang yang begitu sangat kedengkiannya, tidak punya hubungan sama sekali dengan ilmu syar’i dan fikih agama, lari ke ibukota penjajah… semoga Allah merahmati Al-Imam Ath-Thahawi yang mengatakan: ‘dan ulama salaf yang terdahulu dan pengikut-pengikut mereka sesudahnya -ahli khabar dan atsar, dan ahli fiqih dan nadhar- tidak boleh disebut melainkan dengan kebaikan, dan barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka tidaklah dia di atas jalan yang lurus…’” (Pengantar terhadap kitab Madarikun Nazhar fi Siyasah oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al Jazairi).

Penutup

Pada akhir bahasan ini kami berdoa kepada Allah agar menunjukkan dan membawa kita semua ke jalan yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan hendaknya kita semua menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmat yang sangat agung kepada kita yaitu ulama Salafiyin yang memiliki keteguhan langkah dalam menempuh manhaj salafush shalih.

Maka wajib bagi umat secara umum dan para pemuda islam secara khusus untuk menimba ilmu dari para ulama Salafiyin, beramal sesuai dengan amalan mereka, beradab seperti adab mereka, menjaga kehormatan mereka, dan menempatkan mereka sesuai dengan kedudukan mereka yang agung.

Wajib atas setiap muslim untuk taat kepada para pemimpin dalam ketaatan kepada Allah, menasihati mereka dengan cara-cara yang syar’i, dan berusaha untuk mempersatukan kaum muslimin di bawah panji-panji mereka untuk menempuh jalan yang lurus.

Wajib bagi kita semua untuk berpegang teguh dengan manhaj salafush shalih, jangan sampai kita berpaling dari jalan yang lurus sehingga mengalami kerugian yang besar di dunia dan akhirat, karena keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau neraka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Allamah Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan: “Keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau di neraka, jika dia mengikuti manhaj Rasulullah dan manhaj salafus shalih maka dia akan menjadi penghuni surga biidznillah, dan jika dia berada pada manhaj yang sesat maka dia diancam dengan neraka.” (Al-Ajwibah Mufidah hal. 77).

(sumber: Majalah Al Furqon, Gresik)

***

Penulis: Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Syaifullah
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

http://abunamira.wordpress.com